Author : Nirmala Atma
Adiningsih
Ratting : PG
Genre :
Romance
Main Cast :
Hanazawa Rui (Oguri Shun) and Nakashima Miyako
Disclaimer : I don’t have
everything in this fanfic. Except the plot. I hope I will have someone like in
the story. But not in ending.
‘Hujan’ desisku.
Saat ini aku berdiri di emperan sebuah café bergaya Italia. Baru saja aku
menyantap makan siangku di café itu dan aku benar-benar bosan setelah
menghabiskan setengah dari Fettuccine
alfredo ku. Aku ingin keluar segera, karena suara di dalam café membuat
kepalaku pusing. Sialnya, baru saja aku tiba dan menarik daun pintu, entah
antah berantah hujan turun begitu saja. “Cih”. Lagi-lagi menunggu dan menunggu.
Aku tidak mungkin kembali masuk ke dalam. Aku tidak tahan
pada ocehan pelayan yang begitu berasumsi dan menatapku sinis, seolah-olah aku
bukan pengunjung dan hanya seorang peminta sumbangan. ‘Aku juga memiliki uang,
dasar pelayan sialan’ umpatku ketika pelayan itu pergi setelah bertanya apa yang
aku inginkan.
Ada beberapa orang
yang juga berteduh di sekitarku, aku mengamati mereka. Ada seorang ibu,
nampaknya ia baru saja belanja di minimarket di sebelah café Pisa, nama dari
café tempatku berdiri. Ada juga seorang pria jakung yang menurutku usianya
diatas 40 tahun. Setelah kuamati mereka satu persatu, ku arahkan kembali
pandanganku pada hujan di hadapanku sebelum aku dikeroyok oleh mereka karena
mataku tak bisa diam dan disangka penguntit oleh mereka. ‘Tuhan kapan ini
berakhir’ aku mendesah dalam hati.
Tiba-tiba mataku
tertumbuk pada sesosok manusia yang berjalan ke arah café ini melawan titik
hujan yang menusuk itu. Ia mengenakan celana jeans hitam, sepatu putih dan
jacket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya, ia mengenakan kaus dalaman
putih.
Aku menatap tajam
padanya, tetapi ia nampaknya tidak menyadari keberadaanku. Arah matanya tertuju
ke bawah, tapi aku sempat melihat matanya. Tepat, karena ia bertubuh jakung.
Mata yang sempurna, khas Jepang. Rambut pirangnya yang basah menutupi sebagian
wajahnya tapi tak sedikitpun mengurangi kesempurnaan itu. Dia benar-benar
seperti malaikat. Malaikat? Tidak tepatnya Malaikatku.
Aku menatapnya tanpa
berkedip hingga ia tenggelam dalam ruangan café itu. Hujan berhenti. Aku
tersadar dan aku harus pergi sekarang. ‘Kau terlambat’ decakku. Tidak, aku yang
terlalu cepat. Seharusnya aku lebih lama berada di dalam, karena aku yang butuh
dia bukan dia yang butuh aku. Butuh? Nampaknya agak hiperbol.
Sore
ini aku sukses menyelesaikan kuliahku. Biasanya, aku selalu keluar dari kelas
dengan wajah yang sangat kusut. Tetapi hari ini, air wajahku menunjukkan bahwa
bukan hari berat yang kujalani. Aku sengaja memilih bangku di taman samping
gedung Rektor. Aku tidak berniat untuk pulang lebih cepat. Sunyi. Itu
yang kurasakan jika berada di rumah. Aku hanya tinggal bersama seorang
pembantu. Aku berpisah hidup dari orang tuaku, tepatnya kami berpisah hidup.
Orang tuaku bercerai ketika aku kelas 2 SMA. Mereka memperebutkan hak asuhku
hingga pengadilan. Asumsi. Aku benci mereka. Mereka seolah-olah tahu semuanya,
tahu apa yang aku inginkan dan bagaimana aku dapat bahagia. Mereka melihat dari
sudut kepentingan mereka, tidak pernah dari diriku. Aku yang
tahu diriku, aku yang tahu kebutuhanku dan bagaimana aku dapat bahagia.
Aku memutuskan untuk
hidup sendiri. Bebas dari asumsi. Aku sudah cukup dewasa dalam hal ini. Ok,
kuakui bahwa aku masih butuh harta mereka. Hanya itu saja karena aku tidak
butuh perhatian hanya dari sebelah pihak. Ayahku kini tinggal di rumah
perusahaan dimana ia bekerja. Sementara ibuku menempati apartemen yang murni
hasil keringatnya sendiri.
“Ako”
seseorang menyerukan namaku dan memaksaku menoleh kebelakang, arah suara itu.
“Hai
Yuki, ada apa?”
“Aku
mencarimu kemana-mana dan kau tahu-tahu duduk santai disini. Eh,
sedang apa kau? Kau tidak sedang menunggu untuk kencan kan? Tunggu. Kau tidak
punya pacar. Atau_?
“Yuki”
aku memotong kalimatnya yang sudah ngelantur
“Aku
hanya bosan saja dan ingin duduk disini. Tak ada kencan atau apalah. Paham?
Kenapa mencariku?”
“Baik.
Aku mengerti. Temani aku belanja di supermarket, ok? Kau tak ada kuliah lagi bukan?”
‘Ini
sudah sore Yuki bodoh. Maka, tak ada kuliah’ pikirku.
“Baik.
Tapi kau antar aku pulang.”
“Ok.
Kali ini saja, karena aku butuh kau.”
Yah,
itu Yuki. Dia sahabatku sejak SMA. Tapi kami beda Fakultas saat kuliah di
Universitas Meiji ini. Ia mengambil kelas music. Dia benar-benar sahabat yang
merepotkan dan harus dipatuhi. Jangan lupa, ia hanya mau mengantarku pulang
saat situasi genting saja meski ia memiliki mobil. Menyebalkan bukan?
Tapi aku suka dia, dia baik, anak manis dan mengerti aku.
“Aku
ambil keranjang dulu ok”
Yuki
dan aku tiba di supermarket dekat kampus.
“Kau
hendak membeli apa Yuki?”
“Banyak.”
Ia tersenyum puas, karena kali ini mungkin berhasil membuatku benar-benar
bosan.
Yah memang banyak, sangat banyak malah. Bahkan, petugas kasir sampai repot
meletakkan belanjaan itu kedalam kantong.
“Kau
mau makan, Ako?” Yuki meletakkan barang belanjaannya ke dalam mobil.
“Tidak.
Aku tak punya selera makan.”
“Ok,
tapi kau harus temani aku makan dan harus makan juga.”
Yuki menarik tanganku
“Bilang
saja kalau kau memang mau memaksaku. Tak perlu bertanya dahulu.”
“Ya” Yuki tersenyum
nakal.
***
Kami
duduk di kursi kosong di dekat jendela. Satu hal yang Yuki dan aku kompak, kami
suka makan di dekat jendela. Kami memesan Shusi. Sambil menunggu, kulakukan
kebiasaan nakalku, mataku berkeliling liar dan terhenti di meja ujung…. Dep.
Jantungku berhenti berdetak, kutahan napas dan kurasakan darah naik ke
kepalaku. Mata indah itu menatap sebuah gelas berisi jus. ‘Itu lelaki saat
hujan.’ Aku mengingatkan diriku. Rambut pirang, wajah tenang, tubuh jakung. Tak
salah lelaki itu… Dia.
Aku
terus menatapnya tanpa berkedip. Sedetik, dua detik dan seterusnya, hingga …
dia menatapku. Tidak tepatnya mata kami bertemu pandang. Tuhan. Sadar Ako.
“Ako”
Yuki mengguncang tanganku. “Kau kenapa?”
“Tidak,
aku hanya melamun.” Bohong.
“Oh,,
baiklah”
Makanan
kami tiba. Setidaknya ada alasan untuk membuat Yuki tak curiga padaku. Ku lirik
lelaki tadi, syukurlah ia tak lagi menatapku. Tapi kali ini aku dapati wajahnya
yang begitu rapuh, sedih dan kurasa ia kesepian. Tapi aku tak dapat melakukan
apapun. Dia tidak mengenalku. Bodoh.
Aku
menghabiskan makananku dengan lahap. Kejadian tadi benar-benar menguras
tenagaku. Yuki memandangku heran. “Aku lapar karena kau sudah mengajakku
berkeliling tadi.” Kuberi jawaban dari keheranannya sebelum ia sempat bertanya.
“Yuki,
kau pulang saja. Tidak usah mengantarku, karena ada yang ingin kulakukan.” Aku
berusaha mencari alasan ketika kami keluar dari café itu.
“Biar
kutemani?” Yuki menawarkan diri.
“Jangan.
Tak perlu. Kau terlihat lelah.”
“Baiklah.
Selamat malam Ako.”
“Hm-mm.
Bye”
Yuki melajukan
mobilnya. Aku duduk di bangku depan café itu, menunggu sebuah keajaiban. Pria
tadi keluar dengan mengenakan topi putih. Ia berjalan terus dengan langkah yang
cepat namun anggun untuk ukuran pria. Aku mengikuti langkah kaki panjang itu.
“Maaf.” Ujarku ragu.
Ia berhenti melangkah dan berbalik ke arahku.
“Kau siapa?”
tanyanya.
“Aku.. Aku Ako.
Nakashima Miyako.”
“Bukan namamu.
Maksudku apa seharusnya aku mengenalmu?”
“Seharusnya tidak.
Tapi kau dapat mengenalku bila kau ingin.”
Lelaki itu berjalan lagi. Aku terkejut.
“Tunggu” kuhadang dia.
“Aku ingin
mengenalmu, aku sering memperhatikanmu_”
Oh tidak. Apa yang kulakukan. Aku
tertunduk. Malu. Benar-benar bodoh.
“Apa kau benar-benar
selalu memperhatikanku?” lelaki yang terlalu berterus terang.
“Heh?
i..iya.. maaf”
“Baiklah.”
Ia menarik tanganku dan menuntunku berjalan. Tapi aku berlari.
Kami tiba di taman.
Ia melepaskan tanganku di dekat sebuah bangku panjang. Ia berdiri
membelakangiku.
“Um, bagaimana aku
memanggilmu?”
“…” ia diam.
“Mengapa kau selalu
memperhatikanku?” ia mengabaikan pertanyaanku
“Heh? Aku…. Karena
aku ingin dan menyukaimu..” jawabku sekenanya
“Alasannya?”
“Apakah ada alasan
untuk menyukai seseorang?” tanyaku polos.
“Tidak… aku tidak
tahu.”
“Jika kau tak suka
aku memperhatikanmu, tapi setidaknya izinkan aku tahu namamu.”
“Aku.. Hanazawa Rui”
“Hanazawa Rui? Kau
tak melarangku untuk memperhatikanmu, bukan?”
“Tidak.. itu hakmu.
Boleh aku panggil nama belakangmu”
“Tentu, panggil aku
Ako saja.” Senyum tergores di bibirku.
Kami duduk di bangku
taman itu. Lebih banyak diam. Aku yang lebih sering bertanya padanya dan ia
hanya menjawab singkat dan membalas pertanyaanku dengan ‘kamu?’
Aku senang, meski ia
cuek dan lebih banyak diam, tetapi ia tak sepenuhnya mengabaikanku. Aku sempat
melihat dari sudut mataku ia memandangku. ‘Malam yang sempurna, meski tanpa
bintang’ aku tersenyum.
Rui mengantarku
pulang. Kami berjalan kaki bersama. Kami tidak kencan. Maka, tak ada pegangan tangan. Kami berjalan
beriringan berjarak setengah meter.
“Selamat malam,
Ako!” kami tiba di depan rumahku
“Selamat malam, Rui”
Aku menatap
kepergiannya, hingga punggungnya hilang ditelan gelap malam…
Aku merasa hidupku
lebih sempurna dari sebelumnya. Meski aku tidak merasakan kehangatan sebuah
keluarga, aku rasa saat ini cukup terbayar, aku dapat mencintai seseorang. Ya.
Aku mencintai Hanazawa Rui. Walaupun aku belum tahu perasaannya, kurasa aku ada
harapan. Ia tidak cuek padaku, meski ia jelas-jelas tahu bahwa aku menyukainya.
Beberapa hari jalan
dengannya, ia mulai membuka diri. Meski hanya hal-hal kecil, mulai hobi,
aktivitasnya, kesukaannya dan lainnya. Aku senang dan tak enggan menceritakan
tentang diriku kepadanya, termasuk prihal aku yang broken home.
Tapi aku penasaran,
apa yang ada di balik wajah murungnya. Aku pernah melihatnya melamun saat kami
berada di Festival Park. Ia butuh seseorang. Nampaknya ia kesepian dan aku siap
mengisi hari-harinya jika ia memintaku. Tapi kurasa ia belum siap bercerita
padaku.
Suatu ketika rui
mengirim pesan singkat padaku.
‘Ako, ada waktu???
Aku ingin bertemu denganmu di café Pisa jam 7 malam nanti’
‘Ada apa?’
Pikirku. Biasanya kami hanya bertemu ketika ada janji di pertemuan sebelumnya.
“Baik” ku balas pesannya.
“Ada apa ako?” Yuki
menyentakku dari lamunan.
“Aku pernah
bercerita kepadamu tentang cowok yamg kusukai?”
“Ya, namanya Rui
kan? Ada apa dengannya?”
“Ia mengajakku
bertemu.” Wajahku agak gusar dan bingung.
“Hei!!! Bukannya itu
bagus? Apanya yang salah?”
“Iya.. itu bagus.
Sangat bagus malah. Tetapi aku menemukan sedikit kejanggalan.”
“Ako, kurasa ia
sudah mulai menyukaimu. Itu yang kau harapkan bukan?”
“Kurasa ia
mengajakku bukan untuk mengajakku kencan. Namun, ada hal lain dan aku takut
akan kenyataan yang menyakitkan Yuki.”
“Tenanglah Ako. Kau
cukup datang dan mendengarkan kata-katanya.”
“Aku mengerti”
***
Jam
7 kurang 10 menit. Aku sengaja tiba lebih cepat, karena aku akan merasa
canggung jika Rui terus menatapku dari ambang pintu hingga meja yang ia pesan.
Ternyata, ia sudah berada di dalam café itu.. sia-sia saja.
“Kau
lebih cepat 10 menit.” Rui menatapku setelah melihat arlojinya begitu aku tiba.
“Aku tadi langsung
dari minimarket bersama Yuki. Kupikir daripada pulang, lebih baik cepat
beberapa menit.” Aku tidak berbohong kali ini. Karena aku memang menenani Yuki
tadi.
“Baiklah
itu lebih bagus dan ini semakin cepat selesai.”
“Ok..
tapi aku lapar. Jadi kau tak keberatan bila aku memesan makanan, bukan?” ku
beri kode kepada pelayan sebelum Rui berkomentar dan ia hanya tersenyum. Aku
tidak mau mati kelaparan nanti karena hilang selera makan setelah mendengar
kabar buruk dari Rui.
Aku
terus bertanya padanya. Aku ingin meyakinkan diriku hingga siap menerima
kenyataan yang ingin Rui katakana. Ketika makanan kami tiba, aku berhenti
bertanya dan menikmati makananku.
“Maaf.”
Aku berhenti mengunyah begitu kata itu terlontar begitu saja.
“Heh?”
“Maaf
telah mengecewakanmu.” Rui tertunduk, aku dapat melihat wajah menyesalnya.
“Selama
ini aku_”… “Bisakah kau katakan setelah kita makan?” aku memotong ucapannya.
“He-eh”
kami melanjutkan makan dalam suasana hening. Aku berusaha tetap tenang dan
menikmati makan malam terburuk ini.
Kami
memutuskan untul tidak bicara di dalam café. Terlalu banyak telinga yang
mendengar. Banyak yang akan ikut dalam kesedihan atau kebahagiaanku. 2 kemungkinan
kenyataan yang akan aku hadapi.
Rui
menuntunku ke taman dekat café Pisa. Kami duduk di sebuah bangku panjang.
Tempat tepat dimana aku dan dia pertama mengenal satu sama lain. Rui menatap
tanah. Kurasa ia sedang berpikir untuk menyusun kata-kata terbaiknya. Namun,
belum tentu terbaik buatku.
“Ako
maaf”
“dari
tadi hanya kata maaf yang kau ucapkan. Ada apa Rui?”
“Selama
ini kau baik padaku. Kau gadis manis, pintar dan baik. Namun…” Rui menggantung
kalimatnya. “Aku tidak berbuat selayaknya untuk membals kebaikanmu.” Kubiarkan
Rui terus berbicara.
“Kalau
aku boleh jujur, kau adalah satu-satunya teman gadisku dan selama aku
bersamamu, aku merasa lebih nyaman. Karena kau gadis yang penuh pengertian.”
“Aku
lakukan itu karena aku mencintaimu Rui” Aku tersenyum.
“Terima
kasih karena telah mencintaiku Ako” ia tersenyum. “Tapi aku tak dapat membalas
cintamu. Aku tak bisa mencintaimu sebagai seorang kekasih. Kurasa aku lebih
nyaman menjadi temanmu.”
“Heh?”
“Maaf. Harusnya
kukatakan ini saat kita pertama bertemu sebelum kau benar-benar mencintaiku.”
“Tidak aku
mencintaimu sejak aku pertama melihatmu berjalan dibawah hujan di depan café
Pisa. Itu pertama kali aku melihatmu.” Suaraku serak. Aku menangis.
“Aku ingin
mencintaimu, Ako. Aku ingin mencintai gadis-gadis yang cantik.” Rui menunduk.
Aku dapat melihat wajah tertekannya karena ini.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak menemukan
jati diriku sebagai seorang lelaki. Meski telah ada gadis yang mencintaiku.”
“Rui, apa yang kau
katakana?” keningku berkerut karena hal ini.
“Aku … Aku menyukai
sejenisku” deg deg.. “Aku GAY”
Pengakuan yang
sangat menyakitkan. Selama ini aku bersikap selayaknya gadis yang manis, itu
pun tidak mampu mengubahnya… Tidak dapat membuat ia melihat gadis.. Bahkan yang tengah
mencintainya sekalipun.
Setelah hari itu,,,,
Kujalani hidupku
sebagaimana adanya. Cinta pertamaku ternyata untuk seorang GAY.
The End.
0 komentar:
Posting Komentar