Rabu, 22 Februari 2012

My First Love Was...?

Diposting oleh Nirmala di 22.36
            Author             : Nirmala Atma Adiningsih
            Ratting            : PG
Genre              : Romance
Main Cast       : Hanazawa Rui (Oguri Shun) and Nakashima Miyako
Disclaimer      : I don’t have everything in this fanfic. Except the plot. I hope I will have someone like in the story. But not in ending.

‘Hujan’ desisku. Saat ini aku berdiri di emperan sebuah café bergaya Italia. Baru saja aku menyantap makan siangku di café itu dan aku benar-benar bosan setelah menghabiskan setengah dari Fettuccine alfredo ku. Aku ingin keluar segera, karena suara di dalam café membuat kepalaku pusing. Sialnya, baru saja aku tiba dan menarik daun pintu, entah antah berantah hujan turun begitu saja. “Cih”. Lagi-lagi menunggu dan menunggu. Aku tidak mungkin kembali masuk ke dalam. Aku tidak tahan pada ocehan pelayan yang begitu berasumsi dan menatapku sinis, seolah-olah aku bukan pengunjung dan hanya seorang peminta sumbangan. ‘Aku juga memiliki uang, dasar pelayan sialan’ umpatku ketika pelayan itu pergi setelah bertanya apa yang aku inginkan.
Ada beberapa orang yang juga berteduh di sekitarku, aku mengamati mereka. Ada seorang ibu, nampaknya ia baru saja belanja di minimarket di sebelah café Pisa, nama dari café tempatku berdiri. Ada juga seorang pria jakung yang menurutku usianya diatas 40 tahun. Setelah kuamati mereka satu persatu, ku arahkan kembali pandanganku pada hujan di hadapanku sebelum aku dikeroyok oleh mereka karena mataku tak bisa diam dan disangka penguntit oleh mereka. ‘Tuhan kapan ini berakhir’ aku mendesah dalam hati.
Tiba-tiba mataku tertumbuk pada sesosok manusia yang berjalan ke arah café ini melawan titik hujan yang menusuk itu. Ia mengenakan celana jeans hitam, sepatu putih dan jacket abu-abu dengan tudung yang menutupi kepalanya, ia mengenakan kaus dalaman putih.
Aku menatap tajam padanya, tetapi ia nampaknya tidak menyadari keberadaanku. Arah matanya tertuju ke bawah, tapi aku sempat melihat matanya. Tepat, karena ia bertubuh jakung. Mata yang sempurna, khas Jepang. Rambut pirangnya yang basah menutupi sebagian wajahnya tapi tak sedikitpun mengurangi kesempurnaan itu. Dia benar-benar seperti malaikat. Malaikat? Tidak tepatnya Malaikatku.
Aku menatapnya tanpa berkedip hingga ia tenggelam dalam ruangan café itu. Hujan berhenti. Aku tersadar dan aku harus pergi sekarang. ‘Kau terlambat’ decakku. Tidak, aku yang terlalu cepat. Seharusnya aku lebih lama berada di dalam, karena aku yang butuh dia bukan dia yang butuh aku. Butuh? Nampaknya agak hiperbol.
            Sore ini aku sukses menyelesaikan kuliahku. Biasanya, aku selalu keluar dari kelas dengan wajah yang sangat kusut. Tetapi hari ini, air wajahku menunjukkan bahwa bukan hari berat yang kujalani. Aku sengaja memilih bangku di taman samping gedung Rektor. Aku tidak berniat untuk pulang lebih cepat. Sunyi. Itu yang kurasakan jika berada di rumah. Aku hanya tinggal bersama seorang pembantu. Aku berpisah hidup dari orang tuaku, tepatnya kami berpisah hidup. Orang tuaku bercerai ketika aku kelas 2 SMA. Mereka memperebutkan hak asuhku hingga pengadilan. Asumsi. Aku benci mereka. Mereka seolah-olah tahu semuanya, tahu apa yang aku inginkan dan bagaimana aku dapat bahagia. Mereka melihat dari sudut kepentingan mereka, tidak pernah dari diriku. Aku yang tahu diriku, aku yang tahu kebutuhanku dan bagaimana aku dapat bahagia.
Aku memutuskan untuk hidup sendiri. Bebas dari asumsi. Aku sudah cukup dewasa dalam hal ini. Ok, kuakui bahwa aku masih butuh harta mereka. Hanya itu saja karena aku tidak butuh perhatian hanya dari sebelah pihak. Ayahku kini tinggal di rumah perusahaan dimana ia bekerja. Sementara ibuku menempati apartemen yang murni hasil keringatnya sendiri.
            “Ako” seseorang menyerukan namaku dan memaksaku menoleh kebelakang, arah suara itu.
            “Hai Yuki, ada apa?”
            “Aku mencarimu kemana-mana dan kau tahu-tahu duduk santai disini. Eh, sedang apa kau? Kau tidak sedang menunggu untuk kencan kan? Tunggu. Kau tidak punya pacar. Atau_?
            “Yuki” aku memotong kalimatnya yang sudah ngelantur
            “Aku hanya bosan saja dan ingin duduk disini. Tak ada kencan atau apalah. Paham? Kenapa mencariku?”
            “Baik. Aku mengerti. Temani aku belanja di supermarket, ok? Kau tak ada kuliah lagi bukan?”
            ‘Ini sudah sore Yuki bodoh. Maka, tak ada kuliah’ pikirku.
            “Baik. Tapi kau antar aku pulang.”
            “Ok. Kali ini saja, karena aku butuh kau.”
            Yah, itu Yuki. Dia sahabatku sejak SMA. Tapi kami beda Fakultas saat kuliah di Universitas Meiji ini. Ia mengambil kelas music. Dia benar-benar sahabat yang merepotkan dan harus dipatuhi. Jangan lupa, ia hanya mau mengantarku pulang saat situasi genting saja meski ia memiliki mobil. Menyebalkan bukan? Tapi aku suka dia, dia baik, anak manis dan mengerti aku.
            “Aku ambil keranjang dulu ok”
            Yuki dan aku tiba di supermarket dekat kampus.
            “Kau hendak membeli apa Yuki?”
            “Banyak.” Ia tersenyum puas, karena kali ini mungkin berhasil membuatku benar-benar bosan.
            Yah memang banyak, sangat banyak malah. Bahkan, petugas kasir sampai repot meletakkan belanjaan itu kedalam kantong.
            “Kau mau makan, Ako?” Yuki meletakkan barang belanjaannya ke dalam mobil.
            “Tidak. Aku tak punya selera makan.”
            “Ok, tapi kau harus temani aku makan dan harus makan juga.”
Yuki menarik tanganku
            “Bilang saja kalau kau memang mau memaksaku. Tak perlu bertanya dahulu.”
“Ya” Yuki tersenyum nakal.
***
            Kami duduk di kursi kosong di dekat jendela. Satu hal yang Yuki dan aku kompak, kami suka makan di dekat jendela. Kami memesan Shusi. Sambil menunggu, kulakukan kebiasaan nakalku, mataku berkeliling liar dan terhenti di meja ujung…. Dep. Jantungku berhenti berdetak, kutahan napas dan kurasakan darah naik ke kepalaku. Mata indah itu menatap sebuah gelas berisi jus. ‘Itu lelaki saat hujan.’ Aku mengingatkan diriku. Rambut pirang, wajah tenang, tubuh jakung. Tak salah lelaki itu… Dia.
            Aku terus menatapnya tanpa berkedip. Sedetik, dua detik dan seterusnya, hingga … dia menatapku. Tidak tepatnya mata kami bertemu pandang. Tuhan. Sadar Ako.
            “Ako” Yuki mengguncang tanganku. “Kau kenapa?”
            “Tidak, aku hanya melamun.” Bohong.
            “Oh,, baiklah”
            Makanan kami tiba. Setidaknya ada alasan untuk membuat Yuki tak curiga padaku. Ku lirik lelaki tadi, syukurlah ia tak lagi menatapku. Tapi kali ini aku dapati wajahnya yang begitu rapuh, sedih dan kurasa ia kesepian. Tapi aku tak dapat melakukan apapun. Dia tidak mengenalku. Bodoh.
            Aku menghabiskan makananku dengan lahap. Kejadian tadi benar-benar menguras tenagaku. Yuki memandangku heran. “Aku lapar karena kau sudah mengajakku berkeliling tadi.” Kuberi jawaban dari keheranannya sebelum ia sempat bertanya.
            “Yuki, kau pulang saja. Tidak usah mengantarku, karena ada yang ingin kulakukan.” Aku berusaha mencari alasan ketika kami keluar dari café itu.
            “Biar kutemani?” Yuki menawarkan diri.
            “Jangan. Tak perlu. Kau terlihat lelah.”
            “Baiklah. Selamat malam Ako.”
            “Hm-mm. Bye”
Yuki melajukan mobilnya. Aku duduk di bangku depan café itu, menunggu sebuah keajaiban. Pria tadi keluar dengan mengenakan topi putih. Ia berjalan terus dengan langkah yang cepat namun anggun untuk ukuran pria. Aku mengikuti langkah kaki panjang itu.
“Maaf.” Ujarku ragu. Ia berhenti melangkah dan berbalik ke arahku.
“Kau siapa?” tanyanya.
“Aku.. Aku Ako. Nakashima Miyako.”
“Bukan namamu. Maksudku apa seharusnya aku mengenalmu?”
“Seharusnya tidak. Tapi kau dapat mengenalku bila kau ingin.”
Lelaki itu berjalan lagi. Aku terkejut. “Tunggu” kuhadang dia.
“Aku ingin mengenalmu, aku sering memperhatikanmu_”
Oh tidak. Apa yang kulakukan. Aku tertunduk. Malu. Benar-benar bodoh.
“Apa kau benar-benar selalu memperhatikanku?” lelaki yang terlalu berterus terang.
            “Heh? i..iya.. maaf”
            “Baiklah.” Ia menarik tanganku dan menuntunku berjalan. Tapi aku berlari.
Kami tiba di taman. Ia melepaskan tanganku di dekat sebuah bangku panjang. Ia berdiri membelakangiku.
“Um, bagaimana aku memanggilmu?”
“…” ia diam.
“Mengapa kau selalu memperhatikanku?” ia mengabaikan pertanyaanku
“Heh? Aku…. Karena aku ingin dan menyukaimu..” jawabku sekenanya
“Alasannya?”
“Apakah ada alasan untuk menyukai seseorang?” tanyaku polos.
“Tidak… aku tidak tahu.”
“Jika kau tak suka aku memperhatikanmu, tapi setidaknya izinkan aku tahu namamu.”
“Aku.. Hanazawa Rui”
“Hanazawa Rui? Kau tak melarangku untuk memperhatikanmu, bukan?”
“Tidak.. itu hakmu. Boleh aku panggil nama belakangmu”
“Tentu, panggil aku Ako saja.” Senyum tergores di bibirku.
Kami duduk di bangku taman itu. Lebih banyak diam. Aku yang lebih sering bertanya padanya dan ia hanya menjawab singkat dan membalas pertanyaanku dengan ‘kamu?’
Aku senang, meski ia cuek dan lebih banyak diam, tetapi ia tak sepenuhnya mengabaikanku. Aku sempat melihat dari sudut mataku ia memandangku. ‘Malam yang sempurna, meski tanpa bintang’ aku tersenyum.
Rui mengantarku pulang. Kami berjalan kaki bersama. Kami tidak kencan. Maka, tak  ada pegangan tangan. Kami berjalan beriringan berjarak setengah meter.
“Selamat malam, Ako!” kami tiba di depan rumahku
“Selamat malam, Rui”
Aku menatap kepergiannya, hingga punggungnya hilang ditelan gelap malam…
Aku merasa hidupku lebih sempurna dari sebelumnya. Meski aku tidak merasakan kehangatan sebuah keluarga, aku rasa saat ini cukup terbayar, aku dapat mencintai seseorang. Ya. Aku mencintai Hanazawa Rui. Walaupun aku belum tahu perasaannya, kurasa aku ada harapan. Ia tidak cuek padaku, meski ia jelas-jelas tahu bahwa aku menyukainya.
Beberapa hari jalan dengannya, ia mulai membuka diri. Meski hanya hal-hal kecil, mulai hobi, aktivitasnya, kesukaannya dan lainnya. Aku senang dan tak enggan menceritakan tentang diriku kepadanya, termasuk prihal aku yang broken home.
Tapi aku penasaran, apa yang ada di balik wajah murungnya. Aku pernah melihatnya melamun saat kami berada di Festival Park. Ia butuh seseorang. Nampaknya ia kesepian dan aku siap mengisi hari-harinya jika ia memintaku. Tapi kurasa ia belum siap bercerita padaku.
Suatu ketika rui mengirim pesan singkat padaku.
‘Ako, ada waktu??? Aku ingin bertemu denganmu di café Pisa jam 7 malam nanti’
‘Ada apa? Pikirku. Biasanya kami hanya bertemu ketika ada janji di pertemuan sebelumnya.
“Baik” ku balas pesannya.
“Ada apa ako?” Yuki menyentakku dari lamunan.
“Aku pernah bercerita kepadamu tentang cowok yamg kusukai?”
“Ya, namanya Rui kan? Ada apa dengannya?”
“Ia mengajakku bertemu.” Wajahku agak gusar dan bingung.
“Hei!!! Bukannya itu bagus? Apanya yang salah?”
“Iya.. itu bagus. Sangat bagus malah. Tetapi aku menemukan sedikit kejanggalan.”
“Ako, kurasa ia sudah mulai menyukaimu. Itu yang kau harapkan bukan?”
“Kurasa ia mengajakku bukan untuk mengajakku kencan. Namun, ada hal lain dan aku takut akan kenyataan yang menyakitkan Yuki.”
“Tenanglah Ako. Kau cukup datang dan mendengarkan kata-katanya.”
“Aku mengerti”
***
            Jam 7 kurang 10 menit. Aku sengaja tiba lebih cepat, karena aku akan merasa canggung jika Rui terus menatapku dari ambang pintu hingga meja yang ia pesan. Ternyata, ia sudah berada di dalam café itu.. sia-sia saja.
            “Kau lebih cepat 10 menit.” Rui menatapku setelah melihat arlojinya begitu aku tiba.
“Aku tadi langsung dari minimarket bersama Yuki. Kupikir daripada pulang, lebih baik cepat beberapa menit.” Aku tidak berbohong kali ini. Karena aku memang menenani Yuki tadi.
            “Baiklah itu lebih bagus dan ini semakin cepat selesai.”
            “Ok.. tapi aku lapar. Jadi kau tak keberatan bila aku memesan makanan, bukan?” ku beri kode kepada pelayan sebelum Rui berkomentar dan ia hanya tersenyum. Aku tidak mau mati kelaparan nanti karena hilang selera makan setelah mendengar kabar buruk dari Rui.
            Aku terus bertanya padanya. Aku ingin meyakinkan diriku hingga siap menerima kenyataan yang ingin Rui katakana. Ketika makanan kami tiba, aku berhenti bertanya dan menikmati makananku.
            “Maaf.” Aku berhenti mengunyah begitu kata itu terlontar  begitu saja.
            “Heh?”
            “Maaf telah mengecewakanmu.” Rui tertunduk, aku dapat melihat wajah menyesalnya.
            “Selama ini aku_”… “Bisakah kau katakan setelah kita makan?” aku memotong ucapannya.
            “He-eh” kami melanjutkan makan dalam suasana hening. Aku berusaha tetap tenang dan menikmati makan malam terburuk ini.
            Kami memutuskan untul tidak bicara di dalam café. Terlalu banyak telinga yang mendengar. Banyak yang akan ikut dalam kesedihan atau kebahagiaanku. 2 kemungkinan kenyataan yang akan aku hadapi.  
            Rui menuntunku ke taman dekat café Pisa. Kami duduk di sebuah bangku panjang. Tempat tepat dimana aku dan dia pertama mengenal satu sama lain. Rui menatap tanah. Kurasa ia sedang berpikir untuk menyusun kata-kata terbaiknya. Namun, belum tentu terbaik buatku.
            “Ako maaf”
            “dari tadi hanya kata maaf yang kau ucapkan. Ada apa Rui?”
            “Selama ini kau baik padaku. Kau gadis manis, pintar dan baik. Namun…” Rui menggantung kalimatnya. “Aku tidak berbuat selayaknya untuk membals kebaikanmu.” Kubiarkan Rui terus berbicara.
            “Kalau aku boleh jujur, kau adalah satu-satunya teman gadisku dan selama aku bersamamu, aku merasa lebih nyaman. Karena kau gadis yang penuh pengertian.”
            “Aku lakukan itu karena aku mencintaimu Rui” Aku tersenyum.
            “Terima kasih karena telah mencintaiku Ako” ia tersenyum. “Tapi aku tak dapat membalas cintamu. Aku tak bisa mencintaimu sebagai seorang kekasih. Kurasa aku lebih nyaman menjadi temanmu.”
            “Heh?”
“Maaf. Harusnya kukatakan ini saat kita pertama bertemu sebelum kau benar-benar mencintaiku.”
“Tidak aku mencintaimu sejak aku pertama melihatmu berjalan dibawah hujan di depan café Pisa. Itu pertama kali aku melihatmu.” Suaraku serak. Aku menangis.
“Aku ingin mencintaimu, Ako. Aku ingin mencintai gadis-gadis yang cantik.” Rui menunduk. Aku dapat melihat wajah tertekannya karena ini.
“Apa maksudmu?”
“Aku tidak menemukan jati diriku sebagai seorang lelaki. Meski telah ada gadis yang mencintaiku.”
“Rui, apa yang kau katakana?” keningku berkerut karena hal ini.
“Aku … Aku menyukai sejenisku” deg deg.. “Aku GAY”
Pengakuan yang sangat menyakitkan. Selama ini aku bersikap selayaknya gadis yang manis, itu pun tidak mampu mengubahnya… Tidak dapat membuat ia melihat gadis.. Bahkan yang tengah mencintainya sekalipun.

Setelah hari itu,,,,
Kujalani hidupku sebagaimana adanya. Cinta pertamaku ternyata untuk seorang GAY.

The End.

0 komentar:

 

Cuap-Cuap Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea