Tittle : Our
Special Birthday
Author : Nirmala
Atma Adiningsih
Ratting : semua
umur, semua golongan.
Genre :
Romance
Main Cast : Morimoto
Ryutaro and Nakashima Miyako
Disclaimer : I hope I
will met Ryutaro someday…. hahahaha
Hidup ini sangat konyol. Saat semua hal yang diimpikan di
depan mata, saat jalan mencapai kedamaian terbentang luas nan mudah, justru
terjerumus dalam khayalan aneh dan bodoh dan memilih tersungkur dalam rasa
sakit.
Aku hanya
terduduk dengan tatapan kosong di sebuah restoran mewah. Sendiri. Tanpa
seseorang. Bahkan tanpa tujuan, tanpa harapan dan hanya menatap nanar ke arah
jus alpukat di hadapanku. Jika ditanya, aku adalah orang yang harusnya bahagia.
Aku memiliki segalanya, harta, sahabat, teman, keluarga, cinta dan semuanya.
Namun, aku masih merasa kehilangan, merasa belum cukup akan ini semua. Itulah
kenyataannya aku hanya seorang gadis yang berharap memiliki kesempurnaan yang
lebih.
Jauh dari
tempat itu.
Seorang
lelaki mengenakan piama rumah sakit berdiri di jendela kamar inapnya. Wajahnya
lebih ceria. Kini ia merasakan bagaimana hidup yang sebenarnya. Betapa
bahagianya ia, karena kebebasan yang ia impikan akan terentang di depannya.
Mimpi-mimpi yang berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bulan bahkan tahun
yang tak pernah luput dari tidurnya dapat ia wujudkan segera. Berada di rumah
sakit bertahun-tahun membuat ia rindu akan semuanya, tentang rumahnya, teman,
keluarganya dan 1 hal yang terpahat dalam hatinya yang sejak dulu, sekarang,
nanti dan selama-lamanya.
***
“Halo” aku
menjawab telepon itu tanpa mengalihkan pandangan keluar jendela.
“Aku
mengerti… aku akan pulang” kuusap wajahku dengan sebelah tangan yang bebas.
Wajahku sangat risau dan aku bahkan takmengerti penyebabnya.
Aku
meninggalkan lembaran uang di meja dan keluar dari restoran itu. Aku harus
buru-buru pulang karena jika lebih dari setengah jam dari waktu penelponan aku tak muncul maka
kakak lelakiku tak segan mencari untuk menyeretku pulang, meski hari ini ia
baru datang dari Australia. Aku berjalan ke tempat parker dan masuk ke sebuah Porsche merah milikku. Sudah kukatakan
sebelumnya bahwa aku punya semuanya dan Porsche
ini bukan satu-satunya harta termewahku.
Aku
melajukan mobil menuju ke rumahku. Masih dalam ekspresi yang tidak berubah sama
sekali.
“Ah, Ako.
Aku sangat merindukanmu” kakak lelaki ku berlari menyambutku begitu aku sampai
dan memeluk manja diriku.
“Aku juga
merindukanmu, Onee-chan” senyumku padanya
“Aku punya
oleh-oleh untukmu. Ayo” ia menarik lenganku menuju ke kamarnya.
***
“Jaga
kesehatanmu Ryu!” begitu ucapan seorang Dokter muda ketika berada di hadapan
pria tampan dengan kulit putih dan mata coklat yang tergolong sipit.
“Tentu saja.
Memangnya kau pikir aku sudi masuk di rumah sakit ini lagi dan terkurung
berlama-lama di Negara orang lain. Hah?” lelaki yang diketahui bernama Ryu itu
menjawab ketus.
“Dan ingat
Ryu,” Dokter itu menasihati lagi “Jangan lakukan aktivitas berat dan olahraga
berlebih. OK” Dokter itu tersenyum dan berlalu.
“Hmmm. Akan
ku ingat”
***
11 tahun yang
lalu.
Di sebuah
lapangan kecil, tidak jauh dari kompleks perumahan elit bernuansa biru soft, 2
makhluk kecil bermain riang. Wajah tanpa dosa, rileks dan tidak nampak beban
itu bermain dan tertawa lepas. Wajah kanak-kanak yang lugu terpancar dari
sejoli itu.
“Ako, maukah
kau selalu menjadi sahabatku?”
“Hmm. Tentu
saja. Aku senang bermain bersamamu”
“Pada
tanggal 6 setiap bulan kita bertemu disini. Aku akan menunggumu disini. Ako,
maukah kau berjanji?”
“Iya, aku
berjanji.” Aku tersenyum pada bocah kecil didepanku.
“Dan pada
tanggal 6 April kita berdua bersama saling membawa kado dan kita bertukar kado.
Kau setuju?”
“Bukankah
itu bulan depan?”
“Ya. Kita
bertemu disini bulan depan dengan sebuah kado.” Aku mengangguk. Kami tertawa
bersama. Tawa anak-anak. Tawa yang terkesan sangat dalam dan tulus.
Namun, itu
hanya janji dari seorang anak. Janji anak berusia 8 tahun. Janji yang dapat
dilupakan hanya sekali mimpi. Bahkan, bisa saja tanpa kesungguhan dan hanya
kebahagiaan sesaat. Akan tetapi, aku tidak memikirkan hal itu. Aku dengan
lugunya percaya dan bahagia karenanya. Bodoh. Itu yang kupikirkan tentang
diriku. Percaya akan janji bocah kecil yang sampai saat ini menghilang dari
hadapanku.
Tepat
tanggal 6 April aku datang dengan membawa sebuah kado terbungkus berwarna pink.
Aku tahu ini konyol. Aku bahkan menolak ajakan papa, mama dan kakakku untuk
merayakan hari kebahagiaanku ini dengan berlibur keluar karena janji bodoh yang
kusetujui dengan seseorang. Aku merasa bahagia saat itu karena belum pernah
membuat acara seperti ini di hari ulang tahunku bersama salah 1 dari banyaknya
orang yang lahir bersamaan denganku.
Aku
menunggu. Menunggu. Menunggu dan menunggu. Entah apa yang ada dalam pikiranku.
Aku merasa bahwa ia akan datang dan menemuiku, mengenakan baju terbaiknya,
membawa sebuah kado dan tersenyum hangat padaku dan nantinya kita bertukar
kado. Tertawa. Kemudian ia menggenggam tanganku. Ah, namun itu semua hanya ada
dalam khayalanku karena saat aku membuka mata aku telah berada di atas tempat
tidurku.
“Kau sudah
bangun, Ako? Ada yang sakit? Atau kau ingin sesuatu?” Ibuku menatapku pilu. Aku
tak ingat mengapa aku bisa berada di kamar ini.
“Ah, betapa
bodohnya ibumu ini! Aku harusnya tidak membiarkanmu pergi dan menghilang
seharian hingga kau harus pingsan dan terbaring lemah begini. Kau bahkan
kemarin tak makan apapun. Harusnya kau ceria di hari ulang tahun ke 8 mu ini.
Mafkan okaasan, Ako!” ibuku menangis dan menggenggam jemari mungilku. Aku sedih
melihat ibuku seperti ini. Akan tetapi, tak ada kata yang terucap di bibirku
karena aku bingung akan pengingkaran janji yang aku terima.
6 Mei
Aku datang
ke lapangan kecil itu lagi. Aku merasa sedikit semangat karena akan mengetahui
alasan tidak datangnya ia bulan lalu. Aku menunggu dari pagi. Kali ini aku
membawa bekal karena takut akan pingsan lagi. Aku duduk di bangku sambil
menikmati makana yang dibuat ibu. Kepalaku menoleh kekiri kekanan, depan
belakang dan segala arah. Hasilnya nihil. Ia bahkan tak muncul hingga sore
hari.
Aku pulang
dengan rasa kecewa yang berlipat ganda dan berjanji dalam hati tak akan datang
lagi agar dia yang gantian menunggu kedatanganku. Namun, aku mengingkari
kesepakatan hatiku, aku masih saja datang setiap tanggal 6 dan membawa kado
setiap tanggal 6 April. Naluriku percaya bahwa ia akan datang, tidak sekarang
namun suatu hari nanti kelak aku dapat melihatnya. Itulah yang kulakukan hingga
saat ini menjelang umurku yng ke 19 tahun dan itu artinya ia juga.
***
“Hei Ako”
seseorang menyenggol bahu kananku dari belakang.
“Ah, Aya.
Kau mengagetkanku”
“Bukankah kau selalu kaget karena setiap saat kaumselalu
melamun” Aya mengedipkan sebelah matanya. Kemudian ia tertawa. Aku hanya
tersenyum geli melihat tingkah sobatku ini.
“Ako, aku punya 2 tiket konser Kat-Tun. Kau mau pergi
bersamaku?” Aya menunjukkan tiket konser itu.
“Kapan Aya?” aku bertanya tanpa menatapnya maupun tiket itu.
“Besok” Aya menjawab sambil memriringkab kepalanya.
‘Bukankah besok tanggal 6 Maret’ pikirku.
“Aya, maaf. Aku tidak bisa. Ada yang harus ku kerjakan
besok.”
“Sayang sekali. Ok. Aku akan mengajak Yuichi. Ia pati mau
karena jarang-jarang kan nonton konser disini.”
“Hmm. Sepertinya itu bagus. Ia butuh keluar. Aku selalu
menolak setiap ia mengajakku keluar.” Aku tersenyum pada Aya.
“Kau benar-benar adik yang buruk.” Aya meninju lenganku.
Aku teringat bahwa ulang tahunku yang ke-19 tidsk lama lagi. Aku ingin membeli
hadiah untuknya. Ya, sejak ulang tahun ke-8 aku selalu membeli hadiah. Saat ini
ada 11 bingkisan yang tak tahu kapan akan kuserahkan kepada pemiliknya. Kali
ini aku ingin hadiah yang agak istimewa.
“Aya, kau ada kelas sore ini?”
“Tidak. Namun, aku akan mengantar ibuku belanja. Kenapa Ako?”
“Aku ingin mengajakmu mencari hadiah” Aku berbicara seraya
menghadapnya.
“Ulang tahunmu masih lama. Masih 1 bulan lagi, Ako” Aya
menatap heran padaku. Ia tahu akan kegiatanku tiap ulang tahunku yakni membeli
hadiah untuk orang yang tidak pernah muncul.
“Memang iya. Tapi aku ingin hadiah yang lebih istimewa kali
ini. Mungkin saja ia muncul” aku tersenyum. Senyum yang sengaja kubuat-buat
bahagia.
Aya menatap prihatin aku. “Ako kau sudah menunggu selama 11
tahun. Apa tidak cukup rasa kecewa yang kau rasakan selama ini? Kau seharusnya
melupakan bocah kecil kurang ajar itu. Masih ada hal lain yang bagus untuk kau
lakukan dan yang terpenting masih ada pria lain yang lebih baik dari dia.
Misalnya saja menurut pendapatku kakak mu, Yuichi” Aya tersenyum manis padaku.
“Akan aku coba” Aku tak yakin akan jawabanku. ‘Memang banyak
yang lebih baik dari dia, namun tak ada yang seunik dan lucu seperti dia.”
Pikirku dan tersenyum. Kali ini senyum yang tanpa cela.
Aku pulang ke rumah sore ini. Aku tak berniat berjalan-jalan
dulu. Hanya tempat-tempat itu saja yang mungkin aku kunjungi. Bosan. Aku segera
menuju kamarku ke lantai atas. Ku rebahkan diriku di sofa yang berada di dekat
jendela. Aku menatap kegelapan diluar. Semua terasa sangat gelap. Langit tidak
memancarkan cahaya dan kehangatan sedikit pun. Resah itu yang kurasa saat ini.
11 tahun bukan waktu yang singkat untuk menanti kedatangan seseorang, menanti 1
janji, menanti terlunasnya rasa rindu ini.
Aku beranjak dari sofa dan mengganti
pakaianku. Aku menuju tempat tidur dan menyelimuti diriku disana. Aku menatap
langit-langit kamar. Bisu. Tanpa ada suara. 1 menit. 2 menit. 5 menit. Aku
kemudian tidak merasakan apapun, kesunyian menjalar ke otakku dan aku terlelap
terbawa ke alam yang lainnya.
Tiba-tiba
aku berada di sebuah lapangan kosong 11 tahun lalu. Aku mengenakan gaun putih
dan berdiri tak jauh dari sesosok tubuh lelaki. Ia juga mengenakan pakaian
serba putih. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku mengenalnya sebagai
“Ryu” aku
kaget melihatnya semakin tersenyum lebar kepadaku. Akan tetapi, ia tidak
berkata apapun. Aku mendekati dirinya. Namun, ia menjauh dan semakin jauh
dengan senyum yang tak kurang sedikit pun. Aku berusaha mengejarnya. Tetapi
gerakannya lebih cepat dari kecepatan lariku. Aku berteriak.
“Ryu….
Ryu….”
Aku
terbangun. Mimpi. Mimpi yang hampir tiap hari datang dalam tidurku.
***
Esoknya, Aya
menepati janjinya, ia mengajak Yuto untuk nonton konser Kat-Tun. Tapi anehnya,
konser itu baru akan mulai sore ini namun mereka telah lenyap pada pukul 11.
Tapi tidak heran juga, ini hari minggu. Siapa yang betah di rumah dengan piama
yang masih menempel di badan. Kecuali aku. Rencananya, hari ini aku akan ke
lapangan kecil itu lagi. Menjalankan rutinitas bulananku. Bedanya, kini aku
hanya beberapa jam saja disana terutama jika ada kuliah karena kekecewaan yang
sudah bertahun-tahun ku peroleh.
Tulilit…
Tulilit..
Hand Phoneku
berbunyi saat aku tepat selesai berpakaian.
1 pesan
masuk.
‘Ako, tadi
aku datang membawa makanan untuk sarapan! Ku taruh di kulkas. Makanlah!’ ini
salah satu yang kusuka dari Aya, meski memiliki keperluan sama kakakku, ia
tidak pernah lupa padaku. Mungkin karena aku sahabatnya. Tapi aku suka itu. 1
poin untuk Aya sebagai calon kakak iparku. Aku tersenyum geli memikirkan hal
itu.
Tiba-tiba
saja, aku teringat wajah bocah kecil itu. “Bagaimana wajahnya saat ini? Apa
saat ini ia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tampan?” aku berbisik pelan
mengalahkan hembusan angin. Aku sendiri tidak dapat mendengar apa yang aku
katakan.
Ah.
Bodohnya. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Bagaimana aku dapat
membayangkan bagaimana ia saat ini? Tiba-tiba satu ide terlintas di benakku.
Bukankah aku ingin hadiah yang istimewa? Aku mengambil tas dan hand phoneku ke
luar kamar. Aku membuka kulkas dan menemukan roti keju yang dibawakan oleh Aya.
Aku mengambil sepotong dan berjalan menuju mobilku . aku segera melajukan mobil
menuju toko keramik dan kristal. Aku tersenyum akan hadiahku kali ini. Sepulang
dari toko kristal, aku menuju lapangan kecil itu. Aku duduk di bangku panggir
lapangan di bawah pohon sambil menikmati minuman soda.
Sementara
saat bersamaan di duatu tempat.
Ia berdiri
di dekat jendela menatap ke sebuah patung. Jika diperhatikan, itu adalah patung
dirinya. Ia sengaja membuat untuk seseorang. Jika ia tahu bagaimana rupa
seseorang itu, ia akan membuat patung dirinya. Sayang ia tak tahu. ‘Sebaiknya
bukan hari ini kuserahkan dan ukan hari ini juga aku menemuinya. Bersabar Ryu.
1 bulan lagi” bisiknya dalam hati.
“Ryu jangan
lupa minum obatmu!” teriak seorang wanita dari lantai bawah.
“Ya” ryu
menjawab malas. Ia harus minum obat rutin selama beberapa minggu setelah
operasinya. Selama bertahun-tahun sejak kecil, ia menderita penyakit jantung.
Sudah selam itu pula ia menunggu donor jantung dan ia telah mendapatkannya.
Tetapi, ia harus selalu minum obat untuk menghindari penolakan donor dengan
tubuhnya.
***
“Dia tidak
akan datang.” Aku seakan mengintimidasi diriku untuk sadar bahwa apa yang
kunantikan sia-sia. Apa akan begini terus? Selalu kecewa yang kudapat! Tak
urung aku sering kehujanan saat menunggu seperti ini dan hasilnya aku jatuh
sakit. Kuputuskan penantian bodoh ini kuhentikan untuk hari ini. Lagipula hari
sudah sore. Apa boleh buat? 1 bulan lagi. Aku harus bersabar untuk kemungkinan
kemunculannya. Aku beranjak dari tempat itu.
Beberapa
hari terlewatkan!
Aku bersama
Aya menuju ke toko keramik dan kristal yang beberapa hari lalu kudatangi.
Menurut pemiliknya 2 minggu setelah hari pemesanan aku dapat mengambilnya. Kami
duduk di deretan kursi tunggu sambil melihat-lihat berbagai macam
pernak-pernik.
“Aya, kau
tunggu dulu disini dan kau ambil pesananku nanti.”
“Kau mau kemana, Ako?”
“Toilet” bisikku. Toko ini terdiri atas 2 bagian yang mana
sebelahnya adalah sebuah restoran jadi pasti ada toilet di sekitar situ.
Begitu aku keluar dari toilet, iseng aku melihat-lihat beberapa
patung kristal yang dipajang di beberapa stan toko itu….
Brukkk…
Aku terpental ke belakang. Untungnya aku masih dapat menjaga
keseimbangan tubuhku. Aku terkejut. Seorang lelaki yang tak kalah terkejutnya
denganku menatapku..
“Maaf” ucap kami bersamaan. Sesaat kami bertatapan dan tak
ada satu pun diantara kami yang
menyudahinya terlebih dahulu, hingga akhirnya,
“Kau tak apa-apa?” Aya memegang bahuku dan menatap lelaki
dihadapanku.
“Hei! Harusnya kau berhati-hati jalan hingga tidak menabrak
temanku” Aya menyemprot pria itu dengan makiannya.
“Maaf. Tadi aku tidak sengaja” pria itu mencoba menjelaskan.
“Untungnya ia tidak jatuh” Aya masih ngoceh.
“Aya sudahlah.lagipula aku juga salah. Aku yang tidak melihat
jalan tadi. Mana pesananku?” aku berusaha mengalihkan parhatiannya.
“Ini” Aya
menyerahkan bungkusan padaku.
“Ayo kita
pulang!” Ajakku pada Aya karena beberapa orang mulai memperhatikan kami. “Maaf,
atas keteledoranku dan ucapan sahabatku” Aku menarik lengan Aya tanpa menunggu
jawaban dari lelaki itu dan meninggalkannya dengan membawa tanda tanya besar di
kepalaku. ‘Wajahnya sangat familiar. Aku seperti pernah bertemu dengannya tapi
dimana, dan siapa dia?”
“Aya
ternyata sikap tomboimu belum hilang juga hingga sekarang. Ingat Yuto tidak
menyukai gadis tomboi” aku menyenggol bahunya dan yang disenggol hanya
tersenyum malu.
Sore ini aku
duduk di teras samping mengenakan kaos dan celana jeans biru pendek. Sambil
menikmati secangkir coklat panas, aku mengingat peristiwa di toko kristal tadi.
‘Siapa pria tadi?” pertanyaan yang sama dan entah berapa puluh kali telah
terngiang di otakku.
Ting Tung
Ting Tung
Bel rumah
berbunyi. Dengan malas aku berdiri dan menuju ke ruang tamu.
“Ada kiriman
untuk nona Miyako” pria berusia sekitar 35 tahun itu menyerahkan serangkai
bunga.
“Dari
siapa?” tanyaku.
“Mungkin ada
di kartu ucapan di dalam bunga itu. Silahkan tanda tangan dulu di bukti
penerimaan”
Aku menandatanganinya. “Arigatou” ujarku
“Permisi”
pria itu membungkukkan badan dan berlalu.
Aku menutup
pintu menuju ke tempatku meninggalkan coklat panasku tadi. Aku membuka kartu
ucapan yang terselip diantara bunga.
“Aku akan
segera kembali, Bintang Kecilku”
Tidak ada nama pengirimnya. Aku mengernyitkan dahi. “Bintang
Kecil” ku ulangi mengucap kata itu. Tiba-tiba saja ekspresi wajahku berubah aku
ingat istilah ini. Hanya ada 1 orang yang menganggapku bintang kecilnya. 1
orang yang bertahun-tahun kunantikan, 1 orang yang memenuhi sebagian otak dan
hatiku. 1 orang yang kukenal sebagai RYU. Dia pasti Ryutaro Morimoto.
Air mata
menetes di wajahku. ‘Mungkinkah ini kenyataan? Bukan mimpi atau halusinasiku.
Ku baca sekali lagi kartu ucapan itu. Tidak. Ini sungguh. Ia akan menemuiku.’
Aku tersenyum dan mendekap bunga pemberiannya. Tidak ada yang menyebutku sebagai
bintang kecil kecuali dia. Itu pasti dia.
Aku telah
menantinya selama 11 tahun. Tapi, benarkah ini hanya penantian karena janji
yang kami buat sebagai sahabat kecil atau ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang
mungkin lebih rumit dari ini. Aku tidak tahu apa itu, yang jelasnya aku tidak
sabar menanti hari itu, hari disaat usia kami 19 tahun dan bertemu setelah lama
kami tidak bertemu.
Aku menekan
tombol-tombol di hp ku, menghubungi seseorang.
“Moshi-moshi,
Aya?”….. “ Kau tahu, aku sangat bahagia saat ini”….. “Ia akan datang”… “Aya,
kau mengigau ya? Dia, bukan Yuto kakakku. Bocah kecil itu akan datang
menemuiku”…. Aku menjauhkan hp dari telingaku. “Akhirnya kau sadar juga. Tapi
harusnya kau tidak berteriak di telepon”…. “Iya. Tentu saja dia Ryutaro. Memangnya
mau siapa lagi? Hanya dia yang aku nantikan kehadirannya. Ah, senangnya” aku
tertawa…. “Jika kau ingin tahu bagaimana aku yakin. Kau datang ke rumahku
sekarang. Ok. Bye”
Aku
menceritakan pada Aya, bagaimana aku yakin Ryu akan datang. “Apa kau benar-benar
yakin, Ako?” Aya bertanya ragu padaku.
“Tentu saja.
Hanya dia yang memanggilku bintang kecil”
“Kuharap ia
tidak mengecewakanmu kali ini” Aya menatapku. Aku menemukan keraguan dalam
ucapanya . Namun aku berusaha tidak terpengaruh.
“Kuharap
juga demikian” Aku tersenyum.
6 April
Aku saat ini telah sampai di lapangan kecil itu. Ku raih tas
dan bungkusan kadoku. Aku keluar dari mobil. Aku menangkap sosok pria duduk di
bangku. ‘Mungkinkah dia?’ pikirku. Jantungku berdetak kencang. Aku seakan-akan
hendak bertemu orang jahat saja. Tenang. Dia yang selalu kau nantikan.
“Um. Permisi” Iaberbalik padaku. Aku terkejut melihat siapa
yang ada dihadapanku. Ia adalah pria yang tabrakan denganku beberapa hari lalu.
“Jadi, kau Ryu?” “Jadi, Kau Ako?” kami serempak bertanya.
Kemudian kami tertawa. Aku duduk di sampingnya.
“Happy Birthday, Ako!” Ryu menatapku.
“Happy Birthday, Ryu!” aku balas menatapnya.
“Ini kado untukmu” ia menyerahkan sebuah kotak. Aku pun
menyerahkan kotak serupa hanya berbeda warna pembungkusnya. Kami membuka
bersama kado kami masing-masing. Aku dikejutkan 2 kali. Ia memberiku patung
dirinya sama seperti aku memberi patung diriku.
“Bagaimana mungkin ini terjadi?” aku bertanya “Kita sudah 11
tahun tidak bertemu dan ternyata sebelum ini kita sudah pernah bertemu. Bahkan
kita memberi kado dengan jenis yang sama. Nampaknya kita punya naluri yang
sama.” Aku menggeleng. Ryu tersenyum.
“Ako maaf. Aku mengingkari janji kita. Aku membuatmu menunggu
bertahun-tahun. Aku yang memulai kesepakatan ini namun aku tidak dapat
memenuhinya” Ryu menatapku. Aku dapat menemukan penyesalan dan rasa sedih dari
kedua matanya. Aku memalingkan wajahku. Air mataku akan segera turun jika aku
terus menatapnya.
“Kau boleh saja marah padaku. Aku akan melakukan apa saja
untuk menebus rasa bersalahku padamu” Ryu menunduk
“Heh?” aku terkejut.
“Aku sungguh-sungguh menyesal. Ini semua diluar kemauanku.
Selama ini aku berada di rumah sakit. Aku menderita penyakit jantung dari kecil
tepat saat 8 tahun aku menderita sakit itu. Aku menunggu donor jantung yang
cocok untukku dan selama itu aku harus berada di rumah sakit untuk mengurangi
perkembangan sakitku..” Ia kembali berpaling menghadapku. Ia terkejut mendapati
diriku menangis. “Ako” ujarnya. Aku menundukkan wajahku. “Maaf. Kupikir selama
ini kau sengaja meninggalkanku, melupakan janji kita, melupakan semuanya
tentang aku. aku selalu kecewa. Tiap kali aku datang kau tidak pernah muncul.
Ternyata..” aku semakin menundukkan kepalaku. “Maaf” aku menangis
sejadi-jadinya.
“Ah, Ako. Ternyata kau masih saja cengeng” Ryu berkata sambil
tersenyum padaku. “Sudahlah. Toh akhirnya aku muncul dan yang terpenting sudah
sembuh. Harusnya aku yang minta maaf” Ryu menatapku. ‘Ia telah menjadi gadis
yang manis’ pikir Ryu. Ryu mengalihkan tatapannya ke langit. Aku yang gantian
menatapnya. ‘Ia telah jadi lelaki seperti yang kubayangkan. Tampan,” Pikirku.
“Ryu, kau yang mengirimku bunga?” tanyaku.
“He-eh”
“Kenapa tak kau tulis namamu?”
“Aku ingin kau mengetahuinya sendiri. Aku telah memberi kata
kuncinya, bukan? Jadi, kupikir kau akan tahu siapa pengirimnya jika ingat
istilah itu dan sekarang menurutku sebelumnya kau pasti tahu bahwa itu
aku”
‘benar. Aku langsung tahu bahwa itu Ryu dari istilah Bintang
kecil’ aku menghela napas
“Ako”
“Ya”
“18 tahun
lalu aku bertanya padamu bahwa maukah kau menjadi sahabatku, bukan?”
“I..Iya “
aku bingung akan pertanyaan Ryu.
“Boleh aku
ajukan pertanyaan lagi?” tanyanya
“Tentu saja”
nampaknya aku masih canggung dengannya.
Ryu
menghadap kearahku. Ia menarik tanganku dan menggenggamnya. Aku hendak
menepisnya namun, kuurungkan niatku itu.
“Ako, maukah
kau selalu berada disisiku?” Oh Tuhan. Aku terkejut mendengar pertanyaan ini.
Apakah ini pernyataan untuk mengajakku menikah? Kenapa tak ia katakan saja
‘maukah kau menikah denganku?’ atau ‘maukah kau menjadi kekasihku?’ jika memang
ia ingin demikian. Ataukah ia ingin aku dikuburkan bersama dengannya jika nanti
meninggal. Atau?
“Ako?” Ryu
menyadarkanku. Aku teringat bahwa aku harus menjawab pertanyaannya. Namun,
“Ryu,
bisakah kau sederhanakan pertanyaanmu? Aku tidak mengerti.” Ucapku polos.
“hahaha” Ryu
tertawa. “Ako ternyata kau masih bodoh seperti dulu” ia mengacak-acak rambutku.
Aku hanya tersenyum sipu.
“Baiklah, ini sederhananya.” Ia kembali serius. “Ako, maukah
menikah denganku nanti disaat kau telah siap menikah? Aku mencintaimu!” ini dia
pertanyaan sederhana namun terkesan rumit untuk jawabannya. Aku tersenyum.
“Untuk apa aku menunggumu selama 11 tahun jika akhirnya aku
harus menolaknya.” Sekarang giliram Ryu yang bingung.
“Jadi?” tanyanya.
“Ternyata kau tak kalah bodohnya denganku” Aku tertawa. “Iya,
aku mau karena aku juga mencintaimu. Aku sudah lama menunggumu dan sejak itu
aku tidak pernah melihat adanya lelaki lain di kota ini. Tapi biarkan aku
selesai kuliah dahulu” aku tersenyum. Entah mengapa kata-kata ini meluncur
dengan lancarnya. Paahal ini pertama kalinya aku berkata demikian untuk
seseorang dan kuharap ini jadi yang terakhir. Ryu memeluk dan menciumku.
Kini hidupku terasa sempurna karena janji itu terlunaskan
bahkan ada bonus untuk keterlambatannya. Tepat di hari ulang tahunku ke-19 aku
mendapat hadiah terindah yang tidak akan pernah aku lupakan, aku dapat hidup
bersama orang yang aku sayangi sejak dulu, saat ini, nanti dan selama-lamanya…
Dalam ini fanfic
sungguhan lho kalau pemain utamanya memiliki tanggal lahir yang sama, hanya
ditambah beberapa tahun usianya, yakni
tanggal 6 April 1995.
The
END
0 komentar:
Posting Komentar