Kamis, 23 Februari 2012

Our Special Birthday

Diposting oleh Nirmala di 23.37
Tittle             : Our Special Birthday
Author          : Nirmala Atma Adiningsih
Ratting         : semua umur, semua golongan.
Genre           : Romance
Main Cast    : Morimoto Ryutaro and Nakashima Miyako
Disclaimer   : I hope I will met Ryutaro someday…. hahahaha

Hidup ini sangat konyol. Saat semua hal yang diimpikan di depan mata, saat jalan mencapai kedamaian terbentang luas nan mudah, justru terjerumus dalam khayalan aneh dan bodoh dan memilih tersungkur dalam rasa sakit.
            Aku hanya terduduk dengan tatapan kosong di sebuah restoran mewah. Sendiri. Tanpa seseorang. Bahkan tanpa tujuan, tanpa harapan dan hanya menatap nanar ke arah jus alpukat di hadapanku. Jika ditanya, aku adalah orang yang harusnya bahagia. Aku memiliki segalanya, harta, sahabat, teman, keluarga, cinta dan semuanya. Namun, aku masih merasa kehilangan, merasa belum cukup akan ini semua. Itulah kenyataannya aku hanya seorang gadis yang berharap memiliki kesempurnaan yang lebih.
            Jauh dari tempat itu.
            Seorang lelaki mengenakan piama rumah sakit berdiri di jendela kamar inapnya. Wajahnya lebih ceria. Kini ia merasakan bagaimana hidup yang sebenarnya. Betapa bahagianya ia, karena kebebasan yang ia impikan akan terentang di depannya. Mimpi-mimpi yang berjam-jam, berhari-hari, berminggu-minggu, bulan bahkan tahun yang tak pernah luput dari tidurnya dapat ia wujudkan segera. Berada di rumah sakit bertahun-tahun membuat ia rindu akan semuanya, tentang rumahnya, teman, keluarganya dan 1 hal yang terpahat dalam hatinya yang sejak dulu, sekarang, nanti dan selama-lamanya.
***
            “Halo” aku menjawab telepon itu tanpa mengalihkan pandangan keluar jendela.
            “Aku mengerti… aku akan pulang” kuusap wajahku dengan sebelah tangan yang bebas. Wajahku sangat risau dan aku bahkan takmengerti penyebabnya.
            Aku meninggalkan lembaran uang di meja dan keluar dari restoran itu. Aku harus buru-buru pulang karena jika lebih dari setengah jam  dari waktu penelponan aku tak muncul maka kakak lelakiku tak segan mencari untuk menyeretku pulang, meski hari ini ia baru datang dari Australia. Aku berjalan ke tempat parker dan masuk ke sebuah Porsche merah milikku. Sudah kukatakan sebelumnya bahwa aku punya semuanya dan Porsche ini bukan satu-satunya harta termewahku.
            Aku melajukan mobil menuju ke rumahku. Masih dalam ekspresi yang tidak berubah sama sekali.
            “Ah, Ako. Aku sangat merindukanmu” kakak lelaki ku berlari menyambutku begitu aku sampai dan memeluk manja diriku.
            “Aku juga merindukanmu, Onee-chan” senyumku padanya
            “Aku punya oleh-oleh untukmu. Ayo” ia menarik lenganku menuju ke kamarnya.
                                                                           ***
            “Jaga kesehatanmu Ryu!” begitu ucapan seorang Dokter muda ketika berada di hadapan pria tampan dengan kulit putih dan mata coklat yang tergolong sipit.
            “Tentu saja. Memangnya kau pikir aku sudi masuk di rumah sakit ini lagi dan terkurung berlama-lama di Negara orang lain. Hah?” lelaki yang diketahui bernama Ryu itu menjawab ketus.
            “Dan ingat Ryu,” Dokter itu menasihati lagi “Jangan lakukan aktivitas berat dan olahraga berlebih. OK” Dokter itu tersenyum dan berlalu.
            “Hmmm. Akan ku ingat”
***
            11 tahun yang lalu.
            Di sebuah lapangan kecil, tidak jauh dari kompleks perumahan elit bernuansa biru soft, 2 makhluk kecil bermain riang. Wajah tanpa dosa, rileks dan tidak nampak beban itu bermain dan tertawa lepas. Wajah kanak-kanak yang lugu terpancar dari sejoli itu.
            “Ako, maukah kau selalu menjadi sahabatku?”
            “Hmm. Tentu saja. Aku senang bermain bersamamu”
            “Pada tanggal 6 setiap bulan kita bertemu disini. Aku akan menunggumu disini. Ako, maukah kau berjanji?”
            “Iya, aku berjanji.” Aku tersenyum pada bocah kecil didepanku.
            “Dan pada tanggal 6 April kita berdua bersama saling membawa kado dan kita bertukar kado. Kau setuju?”
            “Bukankah itu bulan depan?”
            “Ya. Kita bertemu disini bulan depan dengan sebuah kado.” Aku mengangguk. Kami tertawa bersama. Tawa anak-anak. Tawa yang terkesan sangat dalam dan tulus.
            Namun, itu hanya janji dari seorang anak. Janji anak berusia 8 tahun. Janji yang dapat dilupakan hanya sekali mimpi. Bahkan, bisa saja tanpa kesungguhan dan hanya kebahagiaan sesaat. Akan tetapi, aku tidak memikirkan hal itu. Aku dengan lugunya percaya dan bahagia karenanya. Bodoh. Itu yang kupikirkan tentang diriku. Percaya akan janji bocah kecil yang sampai saat ini menghilang dari hadapanku.
            Tepat tanggal 6 April aku datang dengan membawa sebuah kado terbungkus berwarna pink. Aku tahu ini konyol. Aku bahkan menolak ajakan papa, mama dan kakakku untuk merayakan hari kebahagiaanku ini dengan berlibur keluar karena janji bodoh yang kusetujui dengan seseorang. Aku merasa bahagia saat itu karena belum pernah membuat acara seperti ini di hari ulang tahunku bersama salah 1 dari banyaknya orang yang lahir bersamaan denganku.
            Aku menunggu. Menunggu. Menunggu dan menunggu. Entah apa yang ada dalam pikiranku. Aku merasa bahwa ia akan datang dan menemuiku, mengenakan baju terbaiknya, membawa sebuah kado dan tersenyum hangat padaku dan nantinya kita bertukar kado. Tertawa. Kemudian ia menggenggam tanganku. Ah, namun itu semua hanya ada dalam khayalanku karena saat aku membuka mata aku telah berada di atas tempat tidurku.
            “Kau sudah bangun, Ako? Ada yang sakit? Atau kau ingin sesuatu?” Ibuku menatapku pilu. Aku tak ingat mengapa aku bisa berada di kamar ini.            
            “Ah, betapa bodohnya ibumu ini! Aku harusnya tidak membiarkanmu pergi dan menghilang seharian hingga kau harus pingsan dan terbaring lemah begini. Kau bahkan kemarin tak makan apapun. Harusnya kau ceria di hari ulang tahun ke 8 mu ini. Mafkan okaasan, Ako!” ibuku menangis dan menggenggam jemari mungilku. Aku sedih melihat ibuku seperti ini. Akan tetapi, tak ada kata yang terucap di bibirku karena aku bingung akan pengingkaran janji yang aku terima.  
            6 Mei
            Aku datang ke lapangan kecil itu lagi. Aku merasa sedikit semangat karena akan mengetahui alasan tidak datangnya ia bulan lalu. Aku menunggu dari pagi. Kali ini aku membawa bekal karena takut akan pingsan lagi. Aku duduk di bangku sambil menikmati makana yang dibuat ibu. Kepalaku menoleh kekiri kekanan, depan belakang dan segala arah. Hasilnya nihil. Ia bahkan tak muncul hingga sore hari.
            Aku pulang dengan rasa kecewa yang berlipat ganda dan berjanji dalam hati tak akan datang lagi agar dia yang gantian menunggu kedatanganku. Namun, aku mengingkari kesepakatan hatiku, aku masih saja datang setiap tanggal 6 dan membawa kado setiap tanggal 6 April. Naluriku percaya bahwa ia akan datang, tidak sekarang namun suatu hari nanti kelak aku dapat melihatnya. Itulah yang kulakukan hingga saat ini menjelang umurku yng ke 19 tahun dan itu artinya ia juga.
***
            “Hei Ako” seseorang menyenggol bahu kananku dari belakang.
            “Ah, Aya. Kau mengagetkanku”
“Bukankah kau selalu kaget karena setiap saat kaumselalu melamun” Aya mengedipkan sebelah matanya. Kemudian ia tertawa. Aku hanya tersenyum geli melihat tingkah sobatku ini.
“Ako, aku punya 2 tiket konser Kat-Tun. Kau mau pergi bersamaku?” Aya menunjukkan tiket konser itu.
“Kapan Aya?” aku bertanya tanpa menatapnya maupun tiket itu.
“Besok” Aya menjawab sambil memriringkab kepalanya.
‘Bukankah besok tanggal 6 Maret’  pikirku.
“Aya, maaf. Aku tidak bisa. Ada yang harus ku kerjakan besok.”
“Sayang sekali. Ok. Aku akan mengajak Yuichi. Ia pati mau karena jarang-jarang kan nonton konser disini.”
“Hmm. Sepertinya itu bagus. Ia butuh keluar. Aku selalu menolak setiap ia mengajakku keluar.” Aku tersenyum pada Aya.
“Kau benar-benar adik yang buruk.” Aya meninju lenganku.
Aku teringat bahwa ulang tahunku yang  ke-19 tidsk lama lagi. Aku ingin membeli hadiah untuknya. Ya, sejak ulang tahun ke-8 aku selalu membeli hadiah. Saat ini ada 11 bingkisan yang tak tahu kapan akan kuserahkan kepada pemiliknya. Kali ini aku ingin hadiah yang agak istimewa.
“Aya, kau ada kelas sore ini?”
“Tidak. Namun, aku akan mengantar ibuku belanja. Kenapa Ako?”
“Aku ingin mengajakmu mencari hadiah” Aku berbicara seraya menghadapnya.
“Ulang tahunmu masih lama. Masih 1 bulan lagi, Ako” Aya menatap heran padaku. Ia tahu akan kegiatanku tiap ulang tahunku yakni membeli hadiah untuk orang yang tidak pernah muncul.
“Memang iya. Tapi aku ingin hadiah yang lebih istimewa kali ini. Mungkin saja ia muncul” aku tersenyum. Senyum yang sengaja kubuat-buat bahagia.
Aya menatap prihatin aku. “Ako kau sudah menunggu selama 11 tahun. Apa tidak cukup rasa kecewa yang kau rasakan selama ini? Kau seharusnya melupakan bocah kecil kurang ajar itu. Masih ada hal lain yang bagus untuk kau lakukan dan yang terpenting masih ada pria lain yang lebih baik dari dia. Misalnya saja menurut pendapatku kakak mu, Yuichi” Aya tersenyum manis padaku.
“Akan aku coba” Aku tak yakin akan jawabanku. ‘Memang banyak yang lebih baik dari dia, namun tak ada yang seunik dan lucu seperti dia.” Pikirku dan tersenyum. Kali ini senyum yang tanpa cela.
Aku pulang ke rumah sore ini. Aku tak berniat berjalan-jalan dulu. Hanya tempat-tempat itu saja yang mungkin aku kunjungi. Bosan. Aku segera menuju kamarku ke lantai atas. Ku rebahkan diriku di sofa yang berada di dekat jendela. Aku menatap kegelapan diluar. Semua terasa sangat gelap. Langit tidak memancarkan cahaya dan kehangatan sedikit pun. Resah itu yang kurasa saat ini. 11 tahun bukan waktu yang singkat untuk menanti kedatangan seseorang, menanti 1 janji, menanti terlunasnya rasa rindu ini.
            Aku beranjak dari sofa dan mengganti pakaianku. Aku menuju tempat tidur dan menyelimuti diriku disana. Aku menatap langit-langit kamar. Bisu. Tanpa ada suara. 1 menit. 2 menit. 5 menit. Aku kemudian tidak merasakan apapun, kesunyian menjalar ke otakku dan aku terlelap terbawa ke alam yang lainnya.
            Tiba-tiba aku berada di sebuah lapangan kosong 11 tahun lalu. Aku mengenakan gaun putih dan berdiri tak jauh dari sesosok tubuh lelaki. Ia juga mengenakan pakaian serba putih. Ia menoleh ke arahku dan tersenyum. Aku mengenalnya sebagai
            “Ryu” aku kaget melihatnya semakin tersenyum lebar kepadaku. Akan tetapi, ia tidak berkata apapun. Aku mendekati dirinya. Namun, ia menjauh dan semakin jauh dengan senyum yang tak kurang sedikit pun. Aku berusaha mengejarnya. Tetapi gerakannya lebih cepat dari kecepatan lariku. Aku berteriak.
            “Ryu…. Ryu….”
            Aku terbangun. Mimpi. Mimpi yang hampir tiap hari datang dalam tidurku.
***
            Esoknya, Aya menepati janjinya, ia mengajak Yuto untuk nonton konser Kat-Tun. Tapi anehnya, konser itu baru akan mulai sore ini namun mereka telah lenyap pada pukul 11. Tapi tidak heran juga, ini hari minggu. Siapa yang betah di rumah dengan piama yang masih menempel di badan. Kecuali aku. Rencananya, hari ini aku akan ke lapangan kecil itu lagi. Menjalankan rutinitas bulananku. Bedanya, kini aku hanya beberapa jam saja disana terutama jika ada kuliah karena kekecewaan yang sudah bertahun-tahun ku peroleh.
            Tulilit… Tulilit..
            Hand Phoneku berbunyi saat aku tepat selesai berpakaian.
            1 pesan masuk.
            ‘Ako, tadi aku datang membawa makanan untuk sarapan! Ku taruh di kulkas. Makanlah!’ ini salah satu yang kusuka dari Aya, meski memiliki keperluan sama kakakku, ia tidak pernah lupa padaku. Mungkin karena aku sahabatnya. Tapi aku suka itu. 1 poin untuk Aya sebagai calon kakak iparku. Aku tersenyum geli memikirkan hal itu.
            Tiba-tiba saja, aku teringat wajah bocah kecil itu. “Bagaimana wajahnya saat ini? Apa saat ini ia sudah tumbuh menjadi lelaki dewasa yang tampan?” aku berbisik pelan mengalahkan hembusan angin. Aku sendiri tidak dapat mendengar apa yang aku katakan.
            Ah. Bodohnya. Aku sudah lama tidak bertemu dengannya. Bagaimana aku dapat membayangkan bagaimana ia saat ini? Tiba-tiba satu ide terlintas di benakku. Bukankah aku ingin hadiah yang istimewa? Aku mengambil tas dan hand phoneku ke luar kamar. Aku membuka kulkas dan menemukan roti keju yang dibawakan oleh Aya. Aku mengambil sepotong dan berjalan menuju mobilku . aku segera melajukan mobil menuju toko keramik dan kristal. Aku tersenyum akan hadiahku kali ini. Sepulang dari toko kristal, aku menuju lapangan kecil itu. Aku duduk di bangku panggir lapangan di bawah pohon sambil menikmati minuman soda.
            Sementara saat bersamaan di duatu tempat.
            Ia berdiri di dekat jendela menatap ke sebuah patung. Jika diperhatikan, itu adalah patung dirinya. Ia sengaja membuat untuk seseorang. Jika ia tahu bagaimana rupa seseorang itu, ia akan membuat patung dirinya. Sayang ia tak tahu. ‘Sebaiknya bukan hari ini kuserahkan dan ukan hari ini juga aku menemuinya. Bersabar Ryu. 1 bulan lagi” bisiknya dalam hati.
            “Ryu jangan lupa minum obatmu!” teriak seorang wanita dari lantai bawah.
            “Ya” ryu menjawab malas. Ia harus minum obat rutin selama beberapa minggu setelah operasinya. Selama bertahun-tahun sejak kecil, ia menderita penyakit jantung. Sudah selam itu pula ia menunggu donor jantung dan ia telah mendapatkannya. Tetapi, ia harus selalu minum obat untuk menghindari penolakan donor dengan tubuhnya.
***
            “Dia tidak akan datang.” Aku seakan mengintimidasi diriku untuk sadar bahwa apa yang kunantikan sia-sia. Apa akan begini terus? Selalu kecewa yang kudapat! Tak urung aku sering kehujanan saat menunggu seperti ini dan hasilnya aku jatuh sakit. Kuputuskan penantian bodoh ini kuhentikan untuk hari ini. Lagipula hari sudah sore. Apa boleh buat? 1 bulan lagi. Aku harus bersabar untuk kemungkinan kemunculannya. Aku beranjak dari tempat itu.
            Beberapa hari terlewatkan!
            Aku bersama Aya menuju ke toko keramik dan kristal yang beberapa hari lalu kudatangi. Menurut pemiliknya 2 minggu setelah hari pemesanan aku dapat mengambilnya. Kami duduk di deretan kursi tunggu sambil melihat-lihat berbagai macam pernak-pernik.
            “Aya, kau tunggu dulu disini dan kau ambil pesananku nanti.”
“Kau mau kemana, Ako?”
“Toilet” bisikku. Toko ini terdiri atas 2 bagian yang mana sebelahnya adalah sebuah restoran jadi pasti ada toilet di sekitar situ.
Begitu aku keluar dari toilet, iseng aku melihat-lihat beberapa patung kristal yang dipajang di beberapa stan toko itu….
Brukkk…
Aku terpental ke belakang. Untungnya aku masih dapat menjaga keseimbangan tubuhku. Aku terkejut. Seorang lelaki yang tak kalah terkejutnya denganku menatapku..
“Maaf” ucap kami bersamaan. Sesaat kami bertatapan dan tak ada  satu pun diantara kami yang menyudahinya terlebih dahulu, hingga akhirnya,
“Kau tak apa-apa?” Aya memegang bahuku dan menatap lelaki dihadapanku.
“Hei! Harusnya kau berhati-hati jalan hingga tidak menabrak temanku” Aya menyemprot pria itu dengan makiannya.
“Maaf. Tadi aku tidak sengaja” pria itu mencoba menjelaskan.
“Untungnya ia tidak jatuh” Aya masih ngoceh.
“Aya sudahlah.lagipula aku juga salah. Aku yang tidak melihat jalan tadi. Mana pesananku?” aku berusaha mengalihkan parhatiannya.
            “Ini” Aya menyerahkan bungkusan padaku.
            “Ayo kita pulang!” Ajakku pada Aya karena beberapa orang mulai memperhatikan kami. “Maaf, atas keteledoranku dan ucapan sahabatku” Aku menarik lengan Aya tanpa menunggu jawaban dari lelaki itu dan meninggalkannya dengan membawa tanda tanya besar di kepalaku. ‘Wajahnya sangat familiar. Aku seperti pernah bertemu dengannya tapi dimana, dan siapa dia?”
            “Aya ternyata sikap tomboimu belum hilang juga hingga sekarang. Ingat Yuto tidak menyukai gadis tomboi” aku menyenggol bahunya dan yang disenggol hanya tersenyum malu.
            Sore ini aku duduk di teras samping mengenakan kaos dan celana jeans biru pendek. Sambil menikmati secangkir coklat panas, aku mengingat peristiwa di toko kristal tadi. ‘Siapa pria tadi?” pertanyaan yang sama dan entah berapa puluh kali telah terngiang di otakku.
            Ting Tung Ting Tung
            Bel rumah berbunyi. Dengan malas aku berdiri dan menuju ke ruang tamu.
            “Ada kiriman untuk nona Miyako” pria berusia sekitar 35 tahun itu menyerahkan serangkai bunga.
            “Dari siapa?” tanyaku.
            “Mungkin ada di kartu ucapan di dalam bunga itu. Silahkan tanda tangan dulu di bukti penerimaan”
             Aku menandatanganinya. “Arigatou” ujarku
            “Permisi” pria itu membungkukkan badan dan berlalu.
            Aku menutup pintu menuju ke tempatku meninggalkan coklat panasku tadi. Aku membuka kartu ucapan yang terselip diantara bunga.
            “Aku akan segera kembali, Bintang Kecilku”
Tidak ada nama pengirimnya. Aku mengernyitkan dahi. “Bintang Kecil” ku ulangi mengucap kata itu. Tiba-tiba saja ekspresi wajahku berubah aku ingat istilah ini. Hanya ada 1 orang yang menganggapku bintang kecilnya. 1 orang yang bertahun-tahun kunantikan, 1 orang yang memenuhi sebagian otak dan hatiku. 1 orang yang kukenal sebagai RYU. Dia pasti Ryutaro Morimoto.
            Air mata menetes di wajahku. ‘Mungkinkah ini kenyataan? Bukan mimpi atau halusinasiku. Ku baca sekali lagi kartu ucapan itu. Tidak. Ini sungguh. Ia akan menemuiku.’ Aku tersenyum dan mendekap bunga pemberiannya. Tidak ada yang menyebutku sebagai bintang kecil kecuali dia. Itu pasti dia.
            Aku telah menantinya selama 11 tahun. Tapi, benarkah ini hanya penantian karena janji yang kami buat sebagai sahabat kecil atau ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang mungkin lebih rumit dari ini. Aku tidak tahu apa itu, yang jelasnya aku tidak sabar menanti hari itu, hari disaat usia kami 19 tahun dan bertemu setelah lama kami tidak bertemu.
            Aku menekan tombol-tombol di hp ku, menghubungi seseorang.
            “Moshi-moshi, Aya?”….. “ Kau tahu, aku sangat bahagia saat ini”….. “Ia akan datang”… “Aya, kau mengigau ya? Dia, bukan Yuto kakakku. Bocah kecil itu akan datang menemuiku”…. Aku menjauhkan hp dari telingaku. “Akhirnya kau sadar juga. Tapi harusnya kau tidak berteriak di telepon”…. “Iya. Tentu saja dia Ryutaro. Memangnya mau siapa lagi? Hanya dia yang aku nantikan kehadirannya. Ah, senangnya” aku tertawa…. “Jika kau ingin tahu bagaimana aku yakin. Kau datang ke rumahku sekarang. Ok. Bye”
            Aku menceritakan pada Aya, bagaimana aku yakin Ryu akan datang. “Apa kau benar-benar yakin, Ako?” Aya bertanya ragu padaku.
            “Tentu saja. Hanya dia yang memanggilku bintang kecil”
            “Kuharap ia tidak mengecewakanmu kali ini” Aya menatapku. Aku menemukan keraguan dalam ucapanya . Namun aku berusaha tidak terpengaruh.
            “Kuharap juga demikian” Aku tersenyum.
6 April
Aku saat ini telah sampai di lapangan kecil itu. Ku raih tas dan bungkusan kadoku. Aku keluar dari mobil. Aku menangkap sosok pria duduk di bangku. ‘Mungkinkah dia?’ pikirku. Jantungku berdetak kencang. Aku seakan-akan hendak bertemu orang jahat saja. Tenang. Dia yang selalu kau nantikan.
“Um. Permisi” Iaberbalik padaku. Aku terkejut melihat siapa yang ada dihadapanku. Ia adalah pria yang tabrakan denganku beberapa hari lalu.
“Jadi, kau Ryu?” “Jadi, Kau Ako?” kami serempak bertanya. Kemudian kami tertawa. Aku duduk di sampingnya.
“Happy Birthday, Ako!” Ryu menatapku.
“Happy Birthday, Ryu!” aku balas menatapnya.
“Ini kado untukmu” ia menyerahkan sebuah kotak. Aku pun menyerahkan kotak serupa hanya berbeda warna pembungkusnya. Kami membuka bersama kado kami masing-masing. Aku dikejutkan 2 kali. Ia memberiku patung dirinya sama seperti aku memberi patung diriku.
“Bagaimana mungkin ini terjadi?” aku bertanya “Kita sudah 11 tahun tidak bertemu dan ternyata sebelum ini kita sudah pernah bertemu. Bahkan kita memberi kado dengan jenis yang sama. Nampaknya kita punya naluri yang sama.” Aku menggeleng. Ryu tersenyum.
“Ako maaf. Aku mengingkari janji kita. Aku membuatmu menunggu bertahun-tahun. Aku yang memulai kesepakatan ini namun aku tidak dapat memenuhinya” Ryu menatapku. Aku dapat menemukan penyesalan dan rasa sedih dari kedua matanya. Aku memalingkan wajahku. Air mataku akan segera turun jika aku terus menatapnya.
“Kau boleh saja marah padaku. Aku akan melakukan apa saja untuk menebus rasa bersalahku padamu” Ryu menunduk
“Heh?” aku terkejut.
“Aku sungguh-sungguh menyesal. Ini semua diluar kemauanku. Selama ini aku berada di rumah sakit. Aku menderita penyakit jantung dari kecil tepat saat 8 tahun aku menderita sakit itu. Aku menunggu donor jantung yang cocok untukku dan selama itu aku harus berada di rumah sakit untuk mengurangi perkembangan sakitku..” Ia kembali berpaling menghadapku. Ia terkejut mendapati diriku menangis. “Ako” ujarnya. Aku menundukkan wajahku. “Maaf. Kupikir selama ini kau sengaja meninggalkanku, melupakan janji kita, melupakan semuanya tentang aku. aku selalu kecewa. Tiap kali aku datang kau tidak pernah muncul. Ternyata..” aku semakin menundukkan kepalaku. “Maaf” aku menangis sejadi-jadinya.
“Ah, Ako. Ternyata kau masih saja cengeng” Ryu berkata sambil tersenyum padaku. “Sudahlah. Toh akhirnya aku muncul dan yang terpenting sudah sembuh. Harusnya aku yang minta maaf” Ryu menatapku. ‘Ia telah menjadi gadis yang manis’ pikir Ryu. Ryu mengalihkan tatapannya ke langit. Aku yang gantian menatapnya. ‘Ia telah jadi lelaki seperti yang kubayangkan. Tampan,” Pikirku.
“Ryu, kau yang mengirimku bunga?” tanyaku.
“He-eh”
“Kenapa tak kau tulis namamu?”
“Aku ingin kau mengetahuinya sendiri. Aku telah memberi kata kuncinya, bukan? Jadi, kupikir kau akan tahu siapa pengirimnya jika ingat istilah itu dan sekarang menurutku sebelumnya kau pasti tahu bahwa itu aku” 
‘benar. Aku langsung tahu bahwa itu Ryu dari istilah Bintang kecil’ aku menghela napas
            “Ako”
            “Ya”
            “18 tahun lalu aku bertanya padamu bahwa maukah kau menjadi sahabatku, bukan?”
            “I..Iya “ aku bingung akan pertanyaan Ryu.
            “Boleh aku ajukan pertanyaan lagi?” tanyanya
            “Tentu saja” nampaknya aku masih canggung dengannya.
            Ryu menghadap kearahku. Ia menarik tanganku dan menggenggamnya. Aku hendak menepisnya namun, kuurungkan niatku itu.
            “Ako, maukah kau selalu berada disisiku?” Oh Tuhan. Aku terkejut mendengar pertanyaan ini. Apakah ini pernyataan untuk mengajakku menikah? Kenapa tak ia katakan saja ‘maukah kau menikah denganku?’ atau ‘maukah kau menjadi kekasihku?’ jika memang ia ingin demikian. Ataukah ia ingin aku dikuburkan bersama dengannya jika nanti meninggal. Atau?
            “Ako?” Ryu menyadarkanku. Aku teringat bahwa aku harus menjawab pertanyaannya.  Namun,
            “Ryu, bisakah kau sederhanakan pertanyaanmu? Aku tidak mengerti.” Ucapku polos.
            “hahaha” Ryu tertawa. “Ako ternyata kau masih bodoh seperti dulu” ia mengacak-acak rambutku. Aku hanya tersenyum sipu.
“Baiklah, ini sederhananya.” Ia kembali serius. “Ako, maukah menikah denganku nanti disaat kau telah siap menikah? Aku mencintaimu!” ini dia pertanyaan sederhana namun terkesan rumit untuk jawabannya. Aku tersenyum.
“Untuk apa aku menunggumu selama 11 tahun jika akhirnya aku harus menolaknya.” Sekarang giliram Ryu yang bingung.
“Jadi?” tanyanya.
“Ternyata kau tak kalah bodohnya denganku” Aku tertawa. “Iya, aku mau karena aku juga mencintaimu. Aku sudah lama menunggumu dan sejak itu aku tidak pernah melihat adanya lelaki lain di kota ini. Tapi biarkan aku selesai kuliah dahulu” aku tersenyum. Entah mengapa kata-kata ini meluncur dengan lancarnya. Paahal ini pertama kalinya aku berkata demikian untuk seseorang dan kuharap ini jadi yang terakhir. Ryu memeluk dan menciumku.
Kini hidupku terasa sempurna karena janji itu terlunaskan bahkan ada bonus untuk keterlambatannya. Tepat di hari ulang tahunku ke-19 aku mendapat hadiah terindah yang tidak akan pernah aku lupakan, aku dapat hidup bersama orang yang aku sayangi sejak dulu, saat ini, nanti dan selama-lamanya…


Dalam ini fanfic sungguhan lho kalau pemain utamanya memiliki tanggal lahir yang sama, hanya ditambah beberapa tahun usianya,  yakni tanggal 6 April 1995.


The END

0 komentar:

 

Cuap-Cuap Template by Ipietoon Blogger Template | Gift Idea