Author
: Nirmala Atma Adiningsih
Ratting
: PG
Genre
: Family and Romance
Main
Cast : Keito Okamoto (HSJ) and Nakashima
Miyako
Disclaimer
: Keito adalah milik dirinya sendiri, Tuhan dan orang tuanya..
Prannnngggg…..
Suara itu lagi.
Jika demikian maka tak lama lagi akan menyusul suara lain. 3…2…1….
“Hiks… hiks…
Aku ingin bercerai denganmu…” Gubrak …
Oh Tuhan, aku
memejamkan kedua mataku, mencoba memaksa diriku untuk bertahan dengan keadaan
ini. Keadaan yang sebenarnya sudah aku lalui hampir 3 tahun. Tapi ketahuilah 3
tahun adalah masa puncak dari semua ini. Aku hidup dalam keluarga, keluarga?
Tidak, masih dapatkah disebut sebagai sebuah keluarga jika kedamaian dan
kebahagiaan tidak pernah ada dalamnya? Pernikahan mereka adalah pernikahan
tidak sempurna. Mengapa mereka menikah, dan melahirkan aku kedunia ini jika
mereka tidak dapat menunjukkan keindahan dunia ini? selama hampir 17 tahun aku
hidup hanya tangisan, kekerasan dan teriakan kata-kata kasar yang aku dengar.
Aku ingin membuktikan kata-kata teman-temanku bahwa berlibur bersama keluarga
di pantai, taman, dan tempat lainnya itu menyenangkan, tapi apa? Jangankan
berlibur, berkumpul bersama untuk makan malam saja hanya saat ada kerabat yang
datang, selebihnya…
Aku tidak
sanggup lagi bertahan, aku tidak dapat hidup seperti ini, orang yang seharusnya
paling dekat denganku, malah serasa tidak ada dalam kehidupanku… aku tersungkur
di lantai kamarku, aku tidak mampu lagi menahan ini semua, tapi aku juga tidak
memiliki kemampuan untuk mengubah atau mengakhiri ini semua. Aku masih
mendengar teriakan mereka, kututup kedua telingaku dengan telapak tangan.
Tidakkah mereka peduli padaku? Apakah mereka tidak memikirkan perasaanku?
Setiap kali pulang dan bertemu satu sama lain, hanya pertengkaran yang mereka
lakukan. Aku juga ingin mereka memperhatikanku, mengajakku bercanda, atau
sekedar menyapaku saat mereka pulang bekerja malam hari, tidakkah mereka tahu,
aku selalu menunggu setiap malam di ruang tengah, menunggu mereka datang hingga
aku tertidur di sofa dan ujung-ujungnya bukan mereka yang membangunkanku
tetapi, pembantu yang telah berada di rumah ini sejak aku lahir.
aku butuh orang
lain, aku butuh seseorang yang dapat membantuku keluar dari masalah ini atau
sekedar menghiburku. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di sampingku, aku
mencari kontak di ponsel, mencari kemungkinan orang yang bisa aku ajak
mengobrol. Aku berhenti di sebuah nama ‘KEITO’ mungkinkah? Seseungguhnya ia
adalah pacarku, ahhh tapi kurasa itu dulu, sebab sudah 3 bulan kami tidak ada
komunikasi, masih bisakah itu disebut pacar? Entah apa alasannya ia tidak
menghubungiku lagi, e-mailku, pesan singkatku, bahkan teleponku tak pernah
dijawabnya. Aku tutup kembali flep ponselku. Ia tidak mungkin menjawab
panggilanku, aku bahkan ragu ia masih memakai no itu atau telah mengganti no
ponselnya tanpa memberitahuku. Sekarang lengkap sudah rasa sakit yang
kurasakan, ditinggalkan oleh orang-orang yang kusayangi. Kurebahkan tubuhku di
lantai, aku menangis. Dalam keadaan seperti ini, hanya ada 1 hal yang ada dalam
pikiranku, ‘mengakhiri hidup’ dengan begini aku tidak akan merasa sakit lagi,
namun jujur aku takut mati, aku takut jika ternyata mati itu sakit. Sudah
terlalu banyak rasa sakit yang kurasakan, aku tidak ingin dalam masa akhir
hidupku pun aku harus merasa sakit.
Aku harus kuat,
aku harus mampu bertahan. Tapi sampai kapan? Aku juga memiliki hak untuk
menerima kehidupan yang layak, ok secara lahir aku memang hidup layak, tapi
secara batin? Aku mungkin tidak bisa disebut sebagai seorang anak, anak pasti
memiliki orang tua yang menyanyanginya sepenuh hati, yang rela mengorbankan apa
saja demi anaknya, tapi aku? aku juga ingin merayakan ulang tahunku bersama
orang tuaku, tetapi mereka seakan tidak punya waktu dengan itu, mereka terlalu
sibuk dengan urusan masing-masing dan mengabaikan aku yang jelas-jelas ada
dalam kehidupan mereka.
Samar aku masih
mendengar teriakan mereka namun lambat laun suara itu meredup. Entah apa yang terjadi
denganku, mungkin saja malaikat Tuhan telah mengambil nyawaku tapi, jika ini
mati aku ingin mendapatkannya sebab tak ada rasa sakit yang kurasakan.
************************
Aku tersadar,
sekelilingku gelap. Aku bangun dan mencari letak sakelar lampu berada. Ketika
kunyalakan, tempat itu terang. Aku berada di ruangan. Ini kamarku, jadi aku
belum mati. Sayang sekali. Padahal, aku benar-benar ingin bahwa tadi itu adalah
kematianku.
Aku melihat
arlojiku, 09.10. ternyata aku telah tertidur cukup lama. Aku teringat akan
pertengkaran papa dan mama tadi sore. Rumah ini begitu sunyi, aku berjalan
menuruni tangga. Tidak ada tanda-tanda orang yang belum tidur di rumah ini.
mungkin bibi sudah tidur. Aku menuju ke kamar papa dan mama. Kosong. ‘mereka
pasti pergi lagi’. Itulah, jika mereka bertengkar maka pasti tidak ada yang
tidur di rumah.
Aku mencari nama papa di
kontak ponselku. Arghh tidak aktif. Begitu pun dengan mama. Aku benci mereka.
Aku memang bukan anak kecil yang harus dijaga sepanjang waktu, tapi aku juga
tidak bisa ditinggal terus seperti ini. aku menangis, menahan sakit semua ini.
Bahkan, disaat seperti ini tidak ada yang datang menghiburku dan memberi
perhatian. Kerabat? Tidak ada yang tinggal di kota Tokyo. Teman? Jujur
saja aku tidak memiliki teman-teman yang begitu dekat denganku. Pacar? Ini dia
kata yang selalu aku hindari. Keito. Nama itu yang selalu muncul di benakku
tiap mendengar kata pacar. Lelaki kurang ajar. Jika ia memang sudah tidak
menyayangiku, lebih baik putuskan hubungan ini baik-baik. Tapi dia? Jangankan
memutuskan hubungan ini, menghubungiku saja tidak pernah ia lakukan. Hasilnya,
aku tetap sendiri, entah sampai kapan. Mungkin sampai dewa kematian
menjemputku.
Aku tertidur di
kamar papa dan mama. Aku sudah selesai ujian akhir, jadi aku merasa tidak perlu
untuk ke sekolah. Oleh karenanya bangun siang bukanlah masalah. Aku keluar dari
kamar papa dan mama. Aku melihat seorang wanita duduk menonton tv. ‘Mama’. Aku
berjalan mendekat, wanita itu berbalik.
“Pagi, Ako
sayang”
“Tante” ternyata
ia tante Yuki, adik bungsu Papa.
“Apa yang Tante
lakukan di Tokyo? Sehingga pagi ini sudah disini?” tanyaku itu dikarenakan
rumah tante Yuki di Kanagawa.
“Kebetulan ada
teman tante menikah
di Tokyo, jadi sekalian saja Tante mampir. Lumayan kan? Daripada nginap di
hotel. Hahaha” tante Yuki tertawa dan kupaksakan seulas senyum di bibirku.
“Ada apa Ako?”
tiba-tiba tante Yuki bertanya demikian. Mungkin ia menyadari ekspresiku yang
tidak seperti biasanya.
“Heh? Tidak.
Aku tidak apa-apa.” Lagi-lagi kupaksa tersenyum sewajar mungkin.
“Sudahlah,
Tante tahu semuanya. Sekarang mandilah agar kau segar. Kemudian kita sarapan
bersama.”
“He-em” aku
berjalan menuju kamarku.
************************
Kami sarapan
bersama. Begitu kami menyelesaikan sarapan kami, tante Yuki terus menatapku.
“Ako, jangan
kau tahan, keluarkan semua yang kau rasakan.” Aku mengerti apa yang Tante Yuki
maksud, ia tidak tega melihatku berusaha untuk terlihat bahagia padahal,
sedikit pun tidak ada kebahagiaan yang kurasakan.
“Menangislah!
Jika itu bisa membuatmu sedikit lega. Kau tidak pantas menerima ini semua Ako,”
Lama-lama aku
tidak dapat menahan semua ini. air mataku menetes, aku menangis, mengeluarkan
semua yang kurasakan. Kebencianku pada papa dan mama, Keito dan semuanya. Tante
Yuki membiarkanku menangis, ia hanya menatapku pilu. Kemudian ia memelukku.
“Aku ingin
memiliki keluarga yang normal Tante, aku tidak ingin hidup seperti ini.”
“Aku tahu. Aku
tahu Ako. Sekarang kau hanya perlu bersabar.
Tante yakin ini akan berakhir.”
“tapi sampai
kapan, bertahun-tahun mereka seperti ini.” air mataku kembali meruak. Tante
Yuki hanya terdiam. Kurasa ia tidak memiliki kata-kata untuk menghiburku.
Karena dilihat dari sudut manapun, posisiku sangat sulit.
************************
Malam ini Tante
Yuki menghadiri acara pernikahan temannya itu, ia mengajakku, hanya saja aku
menolaknya dengan alasan aku malas keluar. Sejujurnya bukan itu alasan yang
benar, aku ingin bahkan sangat ingin keluar, menghirup udara, mengunjungi
tempat-tempat yang menarik. Hanya saja, jika nanti aku pergi aku tidak akan
bertemu papa atau mama jika salah seorang dari mereka pulang. Jadi kuputuskan
menunggu.
Keputusanku
tidak sia-sia. Mama pulang malam ini.
“Mama, akhirnya
mama pulang. Ako benar-benar rindu pada mama.” Aku menghamburkan pelukanku pada
Mama begitu mama berada di ruang tengah.
“Maaf Ako.”
Mama melepas pelukanku, tanpa balas memelukku sebelumnya.
“Mama sangat
lelah, mama ingin istirahat” mama meninggalkanku di ruang tengah. Aku hanya
terdiam melihat mama pergi menuju kamarnya tanpa mengucapkan apa-apa sebagai
tanda bahwa ia juga merindukanku. Air mataku lagi-lagi menetes, aku menunggu.
Menunggu mama pulang. Tapi,,, jangankan satu kecupan manis di wajahku, kata
sayang pun tidak aku dengar keluar dari mulutnya. Apakah ia lupa, bahwa aku
keluar dari rahimnya?
‘Aku kangen
mama yang dulu, mama saat aku masih kecil, yang selalu membawa kemana pun ia
pergi.’ Aku berbisik dalam hati, berharap Tuhan tidak tidur dan mendengar
kalimat ini, sehingga Tuhan dapat mengembalikan mama yang penuh sayang padaku.
Aku tersadar begitu mendengar suara mobil di halaman depan, itu pasti Papa. Aku
berlari menuju kedepan. Tebakanku benar. Aku menyambut papa di teras.
“Papa,,” aku
memeluknya sama seperti yang aku lakukan pada mama tadi.
“Aku kangen
sama Papa” aku tersenyum. Karena papa membalas pelukanku.
“Maafkan papa
yang sering meninggalkanmu Ako,,” aku melepas pelukanku.
“Papa sudah
makan malam? Mau kubuatkan sesuatu?” tawarku
“Tidak. Papa
tidak lapar. Papa hanya ingin beristirahat. Selamat malam sayang.” Papa
meninggalkanku di teras. Tapi setidaknya papa memanggilku sayang.
Aku masuk
kedalam rumah dan menuju kamarku, ‘paling tidak mereka di rumah sekarang’.
Bisikku dalam hati. Aku berusaha menenangkan pikiranku di kamar, mengintimidasi
pikiranku agar tenang dan segera tidur. Tetapi, baru saja aku akan terlelap,
suara pecahan kaca terdengar dari lantai bawah. Mungkinkah? Aku segera berlari
keluar kamar. Aku menuju ke kamar papa dan mama. Sunyi. Tidak terdengar
teriakan atau suara tangisan. Aku membuka pintunya. Terkunci. Apa yang terjadi?
Aku mengetuk pintu itu.
“Papa, mama apa
yang terjadi? Ada apa dengan kalian? Papa mama buka pintunya.” Aku mencari
kunci cadangan di laci di dekatku. Aku menemukannya. Aku berusaha membuka pintu
itu dan begitu aku membukanya, pemandangan yang tidak pernah aku bayangkan
sebelumnya.
“TIIIIIDAAAAAAAAAKKKKKKKKKKKK”
“PAPA…… MAMA….”
Mereka dibalut cairan kemerahan. Aku tidak mampu mengartikan ini semua, kakiku
tidak mampu menahan tubuhku. Aku tumbang. Seketika juga semuanya gelap, tanpa
warna. Aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya.
*******************************
Aku tersadar.
Kini hanya warna putih yang ada dalam pandanganku. Mungkinkah ini surga? Tapi
bau ini. ini bau yang kukenal. Obat bius, darah dan lainnya. Rumah sakit.
Ternyata aku belum mati.
“Ako, kau sudah
sadar sayang?” Tante Yuki berdiri disamping kananku. Aku berusaha mengingat
kejadian sebelum aku terbaring disini. Aku dirumah, lalu… Tidak mungkin.
“Papa, mama.
Mana mereka? Bagaimana keadaan mereka? Apa mereka baik-baiki saja? Bawa aku
pada mereka Tante!” aku berusaha bangun
“Tenanglah Ako.
Kumohon tenanglah.”
“Tidak. Aku
harus bertemu mereka. Bawa aku bertemu mereka”
“Ok. Ok. Tapi kumohon
tenang.” Tante Yuki membantuku berdiri. Ia mengantarku untuk menemui papa dan
mama. Kami berdiri di depan sebuah pintu. Tante Yuki membukakannya untuk kami.
Kutatap Tante Yuki dengan tatapan pilu, ia juga terlihat sangat sedih. Apakah
sesuatu yang buruk terjadi? Tidak. Kumohon jangan. Kami masuk ke ruangan itu.
Kami menuju ketempat dimana papa dan mama dibaringkan. Kini, dihadapanku ada 2
tubuh yang tertutup kain putih. Aku berusaha menguatkan hatiku, kubuka kedua
kain putih itu dan dibaliknya terbujur kaku kedua wajah yang selalu aku
rindukan.
“TIDAK. INI
TIDAK MUNGKIN.” Aku menangis, ini semua tidak dapat kupercaya. Bukan ini yang
kuinginkan. Bukan ini.
“Papa….. Mama…”
aku tidak melanjutkan kata-kataku, beban dan rasa sakit ini melumpuhkan saraf-sarafku.
Aku pingsan.
*******************************
Keito POV
Saat ini aku
berdiri di samping seseorang. Gadis yang sudah aku cintai selama 2,5 tahun.
Yang resmi menjadi kekasihku 2 tahun lalu. Tapi kini wajah yang dulu selalu
tersenyum di depanku, terlihat kurus dan sedih. Ia pasti sengsara. Menjalani
ini semua selama bertahun-tahun lamanya sendiri, tanpa orang lain, juga tanpa
aku beberapa bulan terakhir ini, padahal aku pacarnya. Aku benar-benar tidak
berguna. Saat orang yang kucintai benar-benar membutuhkanku, aku tidak dapat
menolongnya sama sekali. Aku benar-benar bodoh, sempat meninggalkan dia hanya untuk keinginan untuk bersama
dengan gadis lain, yang kusuka sejak kecil. Sekarang aku
menyesal. Aku bahkan ragu ia masih mau menerimaku atau berbicara padaku. Aku
memang pantas mendapat ini semua, karena aku telah menyakiti hatinya. Tapi aku
masih menyanyanginya, sangat menyanyanginya. Meskipun sempat ada keraguan
beberapa bulan yang lalu. Kumohon Ako, kembalilah menjadi gadis seperti pertama
aku mengenalmu. Kau tidak pantas menerima ini semua. Berhari-hari terkurung di
rumah sakit. Ako mengalami sedikit gangguan psikologi, emosinya tidak
terkontrol. Sehingga ia sering diberi obat penenang. Mungkin ini akibat
kejadian yang ia alami dalam keluarganya, melihat kedua orang tuanya saling
melukai hingga akhirnya tewas bersama. Ia sangat merindukan keluarga yang
normal, tapi malah kesendirian yang ia peroleh.
“Maafkan aku,
Ako. Bangunlah dan jadilah Ako yang dulu, aku rindu senyummu.” Kugenggam erat
tangannya. Berharap ia bangun dan memaafkan semua kesalahanku. Memaafkan aku
yang tidak pernah menghubunginya lagi dan kini datang kembali padanya saat ia
terpuruk. Tiba-tiba jari-jari yang kugenggam bergerak. Ako sadar. Ia mungkin
mendengar suaraku.
“Ako, kau sadar
sayang” aku menatapnya. Ia membuka kedua kelopak matanya dan ia menatap
kearahku.
“Syukurlah kau
sudah sadar, ini aku Keito. Maafkan aku.Maaf.” kugenggam lebih erat tangannya.
Ia tampak diam, mungkin ia berusaha mengingat diriku. Gangguan akan emosinya
tentu mempengaruhi daya ingatnya karena ingatannya pasti dipenuhi
kejadian saat Papa dan mamanya terbunuh. Namun, ia menarik tangannya dari
genggamanku.
“Untuk apa kau
kemari? Hah? Apa kau ingin melihat keadaanku yang menyedihkan seperti ini. apa
kau puas karena ulahmu aku jadi seperti ini? Ketahuilah, aku seperti ini bukan
karena kau. Sekarang pergi. Aku tidak ingin melihatmu lagi.” Ia membuang
wajahnya kearah lain.
“Ako, aku tahu.
Aku salah. Maaf, karena selama ini aku membiarkanmu menghadapi ini sendiri. Aku
tidak berada di sampingmu saat kau membutuhkanku.”
“Aku tidak
pernah butuh kau, Keito. Sekarang pergi. PERGI” ia berteriak. Tidak. Aku tidak
ingin pergi. Tapi, emosinya tidak stabil saat ini, jika aku memaksa berada
disini, maka ia bisa mengamuk lagi.
“PERGI….PERGI…”
“Keito,
sebaiknya kau keluar dulu.” Tiba-tiba saja Tante Yuki telah berada di ruangan
ini. aku kalah. Aku harus keluar. Demi Ako.
“Tenang sayang.
Ako tenanglah.” Tante Yuki berusaha menenangkan Ako, tapi ia masih saja
berteriak dan menangis. Samar-samar kudengar ia berkata bahwa ia tidak ingin
melihatku lagi. Hatiku sakit mendengar itu.
*************************
Dokter
dan juga tante Yuki melarangku sementara waktu untuk menemui Ako karena
dikhawatirkan dengan kedatanganku secara tiba-tiba membuat emosionalnya
terganggu. Karena jika sesuatu yang dulunya menjadi penyebab emosinya tidak
terkontrol tiba-tiba terulang lagi atau bertolak belakang dengan sebelumnya
maka akan menyebabkan ia semakin tertekan. Jadi, kuputuskan untuk melihatnya
dari luar. Aku ingin berada disampingnya dan melakukan apapun agar ia bahagia,
tapi jika ini memang membuatnya cepat pulih aku juga akan melakukannya.
Hari
ini aku berniat datang untuk membawakannya bunga dan juga beberapa buah, tapi
aku tidak akan menyerahkannya secara langsung. Ketika aku tiba di depan
kamarnya, aku melihat-lihat jika ada suster yang lewat agar aku bisa
menitipkannya padanya. Tapi, tidak satupun dari mereka yang lewat. Aku
mengintip lewat kaca yang berada di pintu. Tapi aku tidak melihat Ako.
“Kemana
Ako?” aku berbicara pada diriku sendiri. Biasanya ia selalu duduk atau tidur di
atas tempat tidurnya atau berdiri di dekat jendela. Tapi, sekarang. Aku membuka
pintunya dan masuk ke dalam. Aku berjalan perlahan dan aku menemukan Ako duduk
di lantai dengan sebuah benda di tangan kanannya. Tidak. Ia tidak boleh
melakukannya. Sebuah pisau kecil. Aku yakin ia akan melakukan sesuatu yang
salah.
“Jangan.
Kau tidak boleh melakukannya.” Aku berusaha mengambil pisau dari tangannya.
“Lepas.
Biarkan aku melakukannya. Apa pedulimu? Hah?” ia tetap mempertahankan pisau itu.
“Kumohon
Ako. Aku menyayangimu, aku tidak ingin kehilangan dirimu.”
“Tidak.
Lepas keito!” kami terlibat saling tarik pisau hingga berhenti saat pisau itu
tertancap empuk di daging. Aku melepas pisau itu dan memegang perut kananku,
darah kental mengalir deras dari perutku.
“Keito.
Tidak. Apa yang aku lakukan.” Ako melepas pisau itu. Aku terjatuh ke lantai.
“Keito,
bangun. Aku tidak sengaja. Bangunlah.” Aku mendengar suara Ako, tapi tidak
begitu jelas. Kepalaku pening. Selanjutnya aku tidak tahu apa-apa lagi.
***********************************
Ako
POV
Aku
takut. Aku takut. Aku membencinya tapi aku tidak ingin ia mati. Bagaimanapun aku
masih mencintainya. Aku masih mencintai laki-laki itu. Sangat. Tapi,
sekarang? Jika ada sesuatu yang buruk terjadi padanya aku tidak akan
pernah memaafkan diriku sendiri. Cukup mama dan papa yang meninggal. Aku tidak
ingin kehilangan orang-orang yang aku sayangi lagi.
“Tante,
bagaimana jika sesuatu terjadi padanya?” aku menundukkan wajahku.
“Tenanglah
sayang. Semuanya akan baik-baik saja. Percayalah.” Aku berusaha tenang dan
menunggu dokter yang menangani Keito keluar.
“Bagaimana
keadaannya Dok?” Tante Yuki berdiri begitu melihat dokter keluar dan menuju
kearah kami.
“Tidak
perlu khawatir, ia tidak kehilangan banyak darah. Tidak lama lagi ia akan
sadar, setelah efek obat biusnya hilang.” Dokter itu menjelaskan pada kami.
“Apa
boleh saya melihatnya Dok?” aku bertanya pada Dokter itu.
“tentu
saja. Silahkan” tanpa pikir panjang lagi aku masuk ke ruangan dimana Keito
berada. Aku melihatnya terbaring dengan selang infus di tangannya. Aku
mendekat. Wajah ini, ini juga wajah yang kurindukan, wajah yang ingin kulihat
selama beberapa bulan terakhir ini. wajah yang kucintai, sekarang terbaring
karena ulahku. Aku menundukkan wajahku dan menangis. Harusnya aku menuruti
kata-katanya untuk melepas pisau tadi agar ia tidak terluka seperti ini.
“Ini
salahku. Maaf.”
“Ini
bukan salahmu, Ako.” Sebuah suara membalas perkataanku tadi.
“Keito,
kau tidak apa-apa? Maaf. Aku tidak sengaja melakukannya.” Air mataku kembali
jatuh.
“Kau
tidak salah apa-apa. Aku yang salah. Jika aku tidak meninggalkanmu, ini tidak
akan terjadi. Maaf. Lagipula aku bersyukur dengan kejadian ini, karena dengan
begini kau mau bertemu denganku.” Aku menatapnya. Ia juga menatapku sambil
tersenyum. Aku rindu tatapan mata itu. Aku juga rindu senyum itu. Aku rindu
semua yang ada padanya. Keito bangun.
“Hei,
jangan bergerak dulu.” Tapi aku terlambat mengingatkannya, karena ia telah
duduk sekarang.
“Tidak
apa-apa. Aku sangat senang karena kau masih perhatian padaku, Ako.” Aku
menundukkan wajahku, wajahku panas.
“Aku
menyayangimu. Sangat. Aku mencintaimu, Ako. Kumohon, kita mulai dari awal
lagi.” Aku terkejut mendengar ia berkata demikian. Aku bingung. Apa yang harus
kulakukan?
“Maaf.
Aku harus pergi.” Aku berbalik hendak pergi, namun sebuah tangan menarik bahuku
dan mendekapku dengan kedua tangannya.
“Aku
tidak ingin kehilangan dirimu Ako. Aku telah membuat kesalahan besar dengan
meninggalkanmu, aku tidak ingin membuat kesalahan yang sama untuk kedua
kalinya.” Ia mendekapku sangat erat. Jujur, aku rindu tangan ini. tangan yang
dulu selalu menggandeng tanganku, tangan yang selalu memelukku jika aku sedih.
“Aku
sangat mencintaimu.” Ia memutar tubuhku sehingga kini aku menghadap ke
wajahnya.
“Ako,
jawablah.” Ia terus menatapku. Bagaimana ini? sebenarnya aku ingin hubungan ini
berlanjut karena aku masih menyayanginya. Tapi, seriuskah ia? Apakah dia tidak
akan meninggalkanku lagi?
“Apa
kau berjanji tidak akan meninggalkanku lagi?” tanyaku.
“Aku
janji. Aku akan selalu berada di sampingmu.” Aku tersenyum mendengar
jawabannya. Aku memeluknya. Ia juga memelukku.
“Aku
menyayangimu Keito. Sengat menyangimu.”
“Aku
tahu. Maaf. Karena pernah mengecewakanmu.”
“Itu
tidak masalah. Aku senang kau kembali.”
Kami
masih berpelukan tanpa menyadari ada beberapa pasang mata yang melihat kearah
kami. Hari yang indah. Saat dimana aku mendapat sedikit kebahagiaan dalam
hidupku. Tidak. Banyak kebahagiaan. Karena, hidup inilah yang akan aku jalani
nantinya bersama orang yang aku cintai. Selamanya.
The END
Tambah
geje ini fanficku…. hhhh
i
need ur comments. please...
0 komentar:
Posting Komentar